Senin 07 Jul 2025 18:21 WIB

2 Opsi Israel untuk Gencatan Senjata, Fraksi Perlawanan Tetap Bertahan di 3 Tuntutan

Israel terus lakukan serangan intensif di Jalur Gaza.

Warga Palestina membawa karung berisi makanan dan bantuan kemanusiaan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Rabu, 11 Juni 2025.
Foto: AP Photo/Abdel Kareem Hana
Warga Palestina membawa karung berisi makanan dan bantuan kemanusiaan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Rabu, 11 Juni 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA— Semua mata tertuju pada ibukota Qatar, Doha, setelah kedatangan delegasi Israel dan Hamas untuk melakukan negosiasi maraton guna mengupayakan gencatan senjata baru dan kesepakatan pertukaran tahanan.

Tidak jauh dari perundingan Doha, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang sedang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), melakukan perjalanan ke ibukota Amerika Serikat (AS), Washington, untuk bertemu dengan Presiden Donald Trump ketiga kalinya dalam enam bulan terakhir.

Baca Juga

Perundingan Doha berfokus pada poin-poin yang diperdebatkan, terutama sejauh mana penarikan pasukan pendudukan dari Jalur Gaza, mekanisme untuk masuk dan mendistribusikan bantuan, dan jaminan untuk mengakhiri perang.

Para analis memperkirakan bahwa skenario yang paling mendekati kenyataan adalah mencapai kesepakatan parsial selama 60 hari, dalam skenario yang mirip dengan kesepakatan Januari 2025, di tengah kekhawatiran bahwa Israel akan kembali berperang setelah melanggar kesepakatan pertama pada 18 Maret lalu.

Jaminan Hamas

Menurut perkiraan ini, Hamas akan menuntut jaminan atas tiga poin dalam negosiasi yang tidak dapat dikompromikan yaitu menghentikan pembunuhan dan pengungsian, kelaparan, dan penarikan ke zona penyangga, kata peneliti urusan politik Saeed Ziad kepada Aljazeera, dikutip Senin (7/7/2025).

Perundingan Doha akan berfokus pada penarikan Israel dan bantuan kemanusiaan, sementara menghentikan perang untuk selamanya akan menjadi fokus pertemuan Trump-Netanyahu.

Lebih dari 21 bulan setelah perang, Israel menyadari bahwa Hamas akan tetap berada di Gaza, sehingga mereka mencari cara untuk "tidak berkomitmen untuk menghentikan perang" melalui operasi militer dan keamanan yang mengubah Jalur Gaza menjadi area terbuka.

Di sisi lain, Tel Aviv dan Washington ingin mendemiliterisasi Gaza dan tidak ingin ada pemerintahan Palestina di sana, di samping keinginan Israel untuk mempertahankan poros Philadelphia dan Morag di selatan.

BACA JUGA: Tak Usah Heran Amerika Serikat Ngebet Bela Israel Mati-matian, Media Ini Bongkar Alasannya

Menurut Ziad, Gaza akan menuju tahap pengepungan paksa dengan imbalan rekonstruksi yang merupakan pilihan fatal yang tidak kurang dari kelanjutan perang, penghancuran Jalur Gaza dan pengungsian penduduknya.

Dua opsi

Pemerintah Netanyahu, yang menghadapi tekanan domestik untuk menghentikan perang dan membebaskan para tawanan, lebih mementingkan untuk mendiskusikan kesepakatan akhir pada hari setelah perang, bukan kesepakatan sementara pada kesepakatan parsial, menurut Mohannad Mustafa, seorang pakar urusan Israel.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement