REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji adalah rukun Islam penutup bagi setiap Muslim yang mampu. Ini tak sekadar perjalanan religi, apalagi penyematan status sosial. Haji disyariatkan agar kaum Muslimin dapat menyaksikan berbagai manfaat. Dengan berhaji, seorang Muslim diharapkan bisa menjadi pribadi yang pandai bersyukur kepada Allah.
Dari lima rukun Islam, hanya haji yang memiliki syarat jika mampu. Perjalanan haji ke Masjidil Haram, Arab Saudi, memang mengharuskan umat Islam memiliki dana cukup besar.
Karena itu, orang yang mampu secara fisik dan finansial seyogianya tak menunda-nunda berhaji. Rasulullah SAW mengancam orang yang mampu namun tidak melaksanakan haji. Mereka akan mati dalam keadaan sebagaimana kaum Yahudi atau Nasrani.
"Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa membawanya ke Baitullah, tetapi tidak melaksanakan haji, maka hendaknya ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani," sabda Nabi SAW.

Hajinya batal?
Bagaimana berhaji dengan harta hasil korupsi? Islam menegaskan, hukum korupsi adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta orang lain dengan cara yang zalim dan batil.
"Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" (QS al-Baqarah: 188).
Kajian fikih Islam mengistilahkan korupsi sebagai risywah. Itu juga dimaknai sebagai pemberian dari seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidal benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hal.