REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Wachid meminta Kementerian Agama (Kemenag) memasukkan travel atau biro perjalanan yang memberangkatkan calon jamaah haji secara ilegal ke dalam daftar hitam atau mencabut izin operasionalnya. Dia menjelaskan, pada tahun ini, para travel tersebut sudah merugikan ribuan jamaah haji yang hendak diberangkatkan secara ilegal.
"Pada tahun 2024, otoritas Arab Saudi sudah ketat. Pada tahun ini lebih ketat lagi. Jadi, jangan main janji bisa memberangkatkan haji karena hampir mustahil bisa menembus Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) kalau tak lewat jalur resmi," kata Abdul Wachid menanggapi banyaknya warga Kabupaten Jepara yang terjaring razia otoritas Arab Saudi melalui rilis yang diterima di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (10/6/2025).
Abdul Wachid saat ini masih berada di Tanah Suci Makkah untuk melaksanakan pengawasan terkait dengan pelaksanaan haji pada tahun 2025.
Dia mengungkapkan, ada jamaah haji asal Jepara yang terjaring razia otoritas Arab Saudi, saat hendak memasuki padang wukuf Arafah menjelang 9 Zulhijah 1446 Hijriah. Mereka tidak bisa melaksanakan salah satu rukun ibadah haji itu lantaran masuk ke Tanah Suci melalui jalur ilegal.
Menurut dia, jamaah haji jalur ilegal tidak hanya dari Jepara, tetapi juga berbagai daerah di Indonesia, bahkan mencapai ribuan orang. Mereka bisa berangkat ke Tanah Suci setelah diberangkatkan oleh travel maupun biro umrah dan haji dengan visa furoda, visa kerja, dan lainnya yang bukan khusus visa haji.
"Sebetulnya sudah ada upaya pencegahan agar masyarakat menempuh jalur legal untuk berhaji yang ditetapkan Kemenag. Koordinasi juga dilakukan dengan Dirjen Imigrasi maupun Dirjen PHU Kemenag," ujar dia.
Akan tetapi, dia menjelaskan, masih ada travel atau biro umrah dan haji yang nekat memberangkatkan jamaah dari jalur tidak resmi. Bahkan, mereka membujuk calon haji dengan biaya haji yang lebih rendah daripada haji furoda, yakni berkisar Rp 150 juta hingga Rp 250 juta. Padahal, haji furoda yang dilarang pemerintah tarifnya berkisar Rp 450 juta hingga hampir Rp1 miliar.
Karena berangkat melalui jalur ilegal, mereka tidak bisa melaksanakan puncak haji di Armuzna sebagaimana mestinya, terlebih masuk kawasan Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf yang merupakan rukun penentu sah tidaknya ibadah haji.
"Saat hendak masuk di Padang Arafah mereka terjaring operasi karena tidak punya Nusuk semacam barcode yang menunjukkan jika mereka calon haji legal atau resmi. Karena ilegal, mereka diarahkan ke tepi jalan di Jeddah dan Madinah yang jauh dari Armuzna," ujarnya.