REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hassan atau Babe Haikal, merespons dokumen keberatan yang dilayangkan Amerika Serikat (AS) terkait Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia. Babe Haikal namun masih belum bisa menjelaskan lebih lanjut terkait protes AS tersebut.
"Nanti ya...saya masih agak padat ini harap maklum, entar saya ini (tanggapi) ya, sebentar," ujar Babe Haikal saat dihubungi Republika, Ahad (20/4/2025).
Pemerintah AS menganggap, aturan halal di Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan bagi mereka. Hal itu pun menjadi salah satu alasan pemerintah AS di bawah Donald John Trump mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia.
Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS, munculnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH dianggap menganggu pemangku kepentingan AS. Mereka komplain dengan aturan halal yang diterapkan Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal wajib untuk makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang dijual di Indonesia. Semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini.
Dalam dokumen AS yang dikutip Republika.co.id di Jakarta pada Ahad (20/4/2025) dijelaskan Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, sehingga para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan tindakan tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mempertimbangkan komentar pemangku kepentingan, sebagaimana disyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO).
Memang, selama lima tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan pola pemberitahuan langkah-langkah penerapan hukum halal kepada WTO hanya setelah langkah-langkah tersebut mulai berlaku. Hal itu termasuk beberapa langkah penerapan utama yang dirinci di bawah ini.
Dalam dokumen keberatan itu dikatakan bahwa keputusan Menteri Agama (MORA) No. 748/2021 menguraikan berbagai macam produk yang memerlukan sertifikasi halal. Peraturan ini diubah dengan Keputusan MORA No. 944/2024 untuk kategori makanan dan minuman. Jenis produk lainnya, seperti obat-obatan, kosmetik, produk rekayasa genetika, produk kimia, produk biologi, dan barang konsumsi masih mengacu pada Keputusan MORA No. 748/2021.
Keputusan MORA No. 1360/2021, juga dikenal sebagai "daftar positif" halal, menetapkan daftar makanan, bahan, aditif, dan bahan lain yang tidak diwajibkan untuk memperoleh sertifikasi halal. AS menganggap hal itu adalah dokumen yang hidup, artinya dapat diubah tanpa memerlukan penerbitan keputusan baru. Keputusan Menteri Agama Nomor 816 Tahun 2024 mengidentifikasi produk makanan dan minuman tertentu (berdasarkan kode HS) yang wajib disertifikasi halal.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 3 Tahun 2023 mengatur akreditasi badan sertifikasi halal (BPH) asing dan penilaian kesesuaian yang harus mereka selesaikan.
"Amerika Serikat khawatir bahwa peraturan akreditasi tersebut menciptakan permintaan dokumen yang berlebihan, persyaratan yang semakin memberatkan bagi auditor untuk memenuhi syarat, dan kebijakan rasio cakupan-auditor yang sewenang-wenang, yang semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi secara tidak perlu bagi BPH AS yang ingin mendapatkan akreditasi untuk menerbitkan sertifikat halal bagi ekspor AS ke Indonesia," kata isi dokumen tersebut.