REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan pentingnya mengendalikan hawa nafsu. Dalam menjelaskan perihal itu, acap kali kita mendengar hadis sebagai berikut.
Sepulang dari medan perang, Nabi Muhammad SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Kalian telah pulang dari suatu jihad kecil dan kini menuju jihad besar.”
Sahabat pun bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”
Secara sanad, hadis tersebut dihukumi lemah. Akan tetapi, makna atau substansinya dinilai sahih.
Jihad melawan hawa nafsu hakikatnya adalah dasar dari jihad melawan musuh-musuh Allah. Sebab, seseorang tak akan mampu berperang melawan mereka sampai ia berhasil menundukkan hawa nafsunya sendiri.
Sebagai contoh, sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib ketika sedang berduel melawan seorang musuh di medan perang. Ketika sudah tersungkur, orang kafir itu lantas meludah ke arah wajah Ali.
Bukannya murka, Ali justru mengurungkan niatnya untuk menghabisi musuh ini. Sebab, ia ingin membunuh musuhnya hanya karena Allah, bukan lantaran dirinya sedang marah akibat diludahi. Sang sahabat Nabi menunda hingga amarahnya reda.
Jadi, jihad melawan hawa nafsu bukan untuk menghentikan jihad qital (berperang) yang sesuai syariat yakni dalam melawan musuh-musuh Allah--yakni mereka yang telah memerangi, membunuh, dan mengusir orang Islam dari kampung halamannya serta memerangi agama Allah.
Hadis ini disebutkan oleh al-Mula Ali al-Qari dalam kitabnya, Al-Asrar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah (Rahasia-Rahasia yang Terangkat dalam Hadis-Hadis Palsu), juga dalam kitab Tadzkirat al-Maudhu’at (Peringatan akan Hadis-Hadis Palsu) karangan Muhammad bin Thahir al-Fitani.
View this post on Instagram