REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Kolombia menunjuk Richard Gamboa Ben-Eleazar sebagai kepala urusan agama di Kementerian Dalam Negeri setelah negara Amerika Selatan itu resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.
Gamboa, yang menggambarkan dirinya sebagai seorang rabi, telah terang-terangan menentang Zionisme. Gamboa juga telah berulang kali mengecam entitas Israel tersebut setelah genosida yang sedang berlangsung di Gaza, yang menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina, terutama wanita dan anak-anak.
Penunjukan ini terjadi di tengah keretakan diplomatik yang tajam antara Kolombia dan Israel. Ketegangan meningkat setelah Presiden Gustavo Petro mengkritik keras perang Israel di Gaza.
Ketegasan Petro
Sejak dimulainya perang Israel di Gaza, Petro telah menjadi kritikus yang gigih terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pada Mei 2024, Petro mengumumkan Kolombia akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan membuka kedutaan besar di Ramallah, dengan menyatakan bahwa ekspor batu bara ke pendudukan akan ditangguhkan "sampai genosida berhenti."
Pada bulan yang sama, ia mendesak Pengadilan Kriminal Internasional untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Netanyahu atas apa yang ia gambarkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Pada Juni, Petro memperkuat posisinya dengan menghentikan ekspor batu bara ke "Israel", yang meningkatkan sikap diplomatik Kolombia. Pada September 2024, ia secara terbuka mencap Netanyahu sebagai "penjahat". Sebagai tanggapan atas tuduhan anti-Semitisme, Petro dengan tegas menolak tuduhan tersebut, dengan menegaskan bahwa anti-Semitisme sejati ditemukan dalam pembunuhan anak-anak Gaza—bukan dalam menentang genosida.
Singkatnya, sikap berani dan teguh Presiden Gustavo Petro terhadap perang Israel di Gaza telah membentuk kembali kebijakan luar negeri Kolombia dan menempatkannya di garis depan seruan internasional untuk akuntabilitas.