REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tukar uang saat menjelang Lebaran menjadi kebutuhan sebagian masyarakat. Sebagian orang memanfaatkan kesempatan ini dengan menyediakan jasa titip menukar uang.
Dalam arti, mereka menukarkan uang pecahan besar yang milik seseorang menjadi pecahan kecil di bank atau institusi semacamnya. Selanjutnya, mereka memberikan uang pecahan kecil tadi ke pemiliknya. Adapun si pemilik uang kemudian memberikan imbalan (fee) kepadanya.
Apakah fee dari jasa tersebut dibolehkan menurut Islam? Ataukah justru praktik ini memiliki unsur riba?
Menjawab pertanyaan demikian, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustaz Dr Oni Sahroni memberikan penjelasan.
Menurut Ustaz Oni, memanfaatkan jasa pialang atau broker untuk menukarkan uang di pihak ketiga secara tunai dengan nominal yang sama (jika penukaran antarsesama rupiah) itu dibolehkan. Adapun fee yang dibayarkan kepada broker tersebut adalah ujrah sehingga dibolehkan pula.
Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin di bawah ini.
Pertama, di antara beberapa contoh penukaran melalui makelar atau pialang adalah sebagai berikut: "Si A mau menukar Rp 1 juta (dalam pecahan Rp 100 ribuan) dengan Rp 1 juta (dalam pecahan Rp 2 ribuan). Kemudian, si A meminta kepada B untuk menukarkan uangnya ke Bank. Atas jasa B telah menukarkan uangnya, maka si A pun memberikan fee sebesar Rp 50 ribu."
Atau contoh lain: "Pak Ahmad meminta Iqbal (keponakannya) untuk menukarkan uang Rp 5 juta ke bank dalam bentuk pecahan Rp 2.000-an, Rp 5.000-an, Rp 10 ribuan, dan Rp 20 ribuan. Atas jasanya itu, Pak Ahmad memberikan upah sebesar Rp 50 ribu kepada Iqbal."
Maka kesimpulannya, lanjut Ustaz Oni, memberikan fee kepada broker atau penyedia jasa menukarkan uang kepada Bank itu adalah halal. Ini bukan bagian riba dengan dua ketentuan: (1) memastikan bahwa transaksinya tunai atau sesuai nominal dan merujuk pada akad ijarah, serta (2) ia benar menukarkan dari pihak lain, bukan bahwa ia menjual.
