REPUBLIKA.CO.ID, Saat menahan lapar dan dahaga, tidak sedikit Muslim merasakan kondisi fisik tubuh menurun saat sedang berpuasa. Tidak ayal, kantuk pun menyerang sepanjang hari. Adanya dalil keutamaan tidur saat berpuasa menjadi penambah tekad untuk tidur seharian.
Kurang lebih dalil yang konon berasal dari hadis itu bermakna seperti ini:
“Tidurnya orang puasa merupakan ibadah, diamnya merupakan tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.”
Hadis ini begitu populer saat kita memasuki bulan Ramadhan. Tidak jarang, banyak diantara kita yang menggunakan dalil ini untuk menghabiskan waktu berpuasa dengan tidur seharian.
Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa hal yang sesuai dengan hadis-hadis yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipatgandakan, namun khusus lafaz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya.
Ustaz Ahmad Sarwat dalam bukunya Fiqih Ramadhan menjelaskan, Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy- Syu'ab Al-Iman lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, ikut menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).
Namun status dhaif yang diberikan oleh As- Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadis ini bukan hanya dhaif tetapi sudah sampai derajat hadits maudhu' (palsu). Lantas, siapa sebenarnya yang bertanggungjawab atas pemalsuan hadis tersebut?