Senin 03 Feb 2025 17:58 WIB

Misi Mesir Rekonstruksi Gaza tanpa Relokasi Warga

Upaya Mesir terkait Gaza terus berjalan.

Keluarga Palestina berkumpul di sekitar api unggun untuk menghangatkan diri saat mengungsi di sebuah bangunan yang rusak, di Khan Yunis, Gaza, Rabu (4/12/2024). Sejumlah keluarga Palestina mengungsi di reruntuhan gedung yang hancur akibat serangan Israel. Mereka harus berjuang melawan kondisi cuaca dingin dan krisis pangan.
Foto: Doaa Albaz/Anadolu
Keluarga Palestina berkumpul di sekitar api unggun untuk menghangatkan diri saat mengungsi di sebuah bangunan yang rusak, di Khan Yunis, Gaza, Rabu (4/12/2024). Sejumlah keluarga Palestina mengungsi di reruntuhan gedung yang hancur akibat serangan Israel. Mereka harus berjuang melawan kondisi cuaca dingin dan krisis pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO --Mesir pada Ahad  (2/2/2025) menegaskan bahwa pihaknya memiliki “visi yang jelas” terkait rekonstruksi Jalur Gaza yang hancur akibat perang, tanpa memindahkan warga Palestina dari wilayah tersebut.

"Upaya Mesir terkait Gaza terus berjalan dan tidak akan berhenti dalam memenuhi persyaratan spesifik dari perjanjian gencatan senjata dalam tiga tahapnya," ujar Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, dalam konferensi pers di Kairo bersama Menlu Djibouti, Mahamoud Ali Youssouf.

Baca Juga

"Kami memiliki visi yang jelas untuk membangun kembali Jalur Gaza tanpa satu pun warga meninggalkan tanah mereka," tambahnya.

Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengusulkan agar warga Palestina di Gaza direlokasi ke Mesir dan Yordania, dengan menyebut wilayah tersebut sebagai "lokasi yang hancur" akibat perang Israel. Namun, usulan ini mendapat penolakan keras dari Kairo dan Amman.

Dalam pertemuan menteri luar negeri enam negara Arab di Kairo pada Sabtu (1/2/2025), para pejabat dengan tegas menolak pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza serta kembali menyerukan implementasi solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Usulan Trump muncul setelah perjanjian gencatan senjata mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, yang menghentikan sementara perang genosida Israel yang telah menewaskan hampir 47.500 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 111.000 lainnya sejak 7 Oktober 2023.

Menlu Mesir juga menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk eskalasi militer di Laut Merah setelah gencatan senjata di Gaza.

"Kami menekankan pentingnya menjaga keamanan Laut Merah dan kebebasan navigasi maritim, serta menolak kehadiran militer dari negara mana pun yang tidak berbatasan langsung dengan Laut Merah," ujarnya.

Ketegangan di Laut Merah mulai mereda setelah kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Selama perang berlangsung, kelompok Houthi di Yaman melancarkan serangan drone dan rudal terhadap kapal-kapal kargo Israel atau kapal yang terafiliasi dengan Tel Aviv di Laut Merah sebagai bentuk dukungan terhadap Palestina.

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi bertemu Menteri Luar Negeri Djibouti pada Minggu pagi untuk membahas kerja sama bilateral serta perkembangan terbaru di Somalia dan kawasan Laut Merah, menurut pernyataan kepresidenan.

Ketegangan antara Ethiopia dan Somalia meningkat sejak Januari 2024, setelah Addis Ababa menandatangani perjanjian dengan Somaliland, wilayah yang memisahkan diri dari Somalia, untuk menggunakan Pelabuhan Berbera di Laut Merah.

Sejak saat itu, Turki aktif menjadi mediator untuk meredakan ketegangan antara kedua negara.

Mesir dan Ethiopia juga masih terlibat dalam sengketa yang telah berlangsung selama satu dekade terkait proyek pembangunan bendungan di Sungai Nil.

Kairo khawatir proyek ini akan secara drastis mengurangi jatah air Sungai Nil bagi Mesir, sementara Ethiopia berpendapat bahwa bendungan tersebut sangat penting bagi pembangunan negaranya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement