REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Agama adalah nasihat," demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis. Cakupan nasihat yang dimaksud adalah tentang Allah Ta'ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Muslimin, serta umat Islam secara umum. Artinya, dorongan untuk memberikan nasihat datang dari Sang Pencipta melalui jalan mana saja yang Dia kehendaki menjadi sarana kebajikan.
Sang Hujjatul Islam (Pembela Agama Islam), Imam Ghazali, pernah bersurat kepada muridnya. Isinya menggambarkan betapa pentingnya perbuatan saling menasihati. Demikian pula, kelapangan hati dalam menerima nasihat.
"Nasihat itu mudah, yang sukar adalah menerimanya. Bagi mereka yang mengikuti hawa nafsunya, maka nasihat akan terasa pahit," kata Imam Ghazali dalam pembukaan suratnya itu.
Terhadap sang murid, Hujjatul Islam berpesan agar hidup sebagai pemuda Muslim yang mencintai ilmu pengetahuan dan mengamalkan ilmu itu. "Subhanallah, mereka tidak menyadari bahwa ilmu yang telah diamanatkan kepadanya mesti diamalkan. Bila tidak, ilmu hanya akan menjadi beban, memperberat siksa yang ditimpakan kepadanya," lanjut sang Hujjatul Islam.
Sosok yang lahir di Tus (Persia) itu mengutip sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, "Orang yang mengalami siksaan berat pada Hari Kiamat adalah ilmuwan dan kaum cendekiawan yang tidak menebarkan manfaat dengan ilmunya."
Maka dari itu, Imam Ghazali berpesan agar seorang Muslim tidak menutup diri dari nasihat-nasihat yang baik. Pelajaran bisa dipetik dari kisah-kisah orang terdahulu. Dia pun mengutip cerita tentang seseorang yang bermimpi bertemu dengan Imam al-Junaid.
"Apa kabarmu, wahai Abu Qasim (panggilan hormat untuk Imam al-Junaid)?" tanya orang itu di dalam mimpinya.
"Semua ilmuku lenyap tak berbekas. Tidak ada lagi yang memberikan kepadaku manfaat kini selain rakaat-rakaat yang kudirikan di dalam shalat malam," jawab al-Junaid.
Demikianlah, jangan sampai ilmu yang kita peroleh menutup batin kita dari kesediaan menerima nasihat kebaikan.