Sabtu 23 Nov 2024 11:05 WIB

Jika para Pejabat Hanya Takut kepada Allah, Inilah yang akan Terjadi

Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya orang beriman dapat dimaknai secara positif.

Umat Islam (ilustrasi).
Foto: Antara/Retno Esnir
Umat Islam (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut psikologi, takut adalah kondisi kejiwaan yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya bila terjadi pada dirinya. Dalam bahasa Arab, takut dapat dinyatakan dengan khauf atau khasyyah.

Takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dari yang ditakuti. Adapun khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik dan disertai dengan pengetahuan (ma’rifah). Misalnya, dalam surah Fathir ayat ke-28, Allah berfirman:

Baca Juga

اِنَّمَا يَخۡشَى اللّٰهَ مِنۡ عِبَادِهِ الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيۡزٌ غَفُوۡرٌ

"Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun."

Khasyyah di sini merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan mengenai kebesaran-Nya.

Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif. Dalam arti, perasaan takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.

Jika rasa takutnya itu meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, tetapi juga melengkapinya dengan amalan sunah serta menjauhi hal-hal yang samar-samar (syubhat) status hukumnya.

Bagi Muslimin yang juga memangku jabatan publik atau bekerja sebagai aparat, takutnya kepada Allah berarti maslahat luas. Sebab, perasaan takut itu menjadikannya selalu yakin bahwa Allah Maha-melihat dan Maha-mendengar segala gerak-gerik dan perbuatannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement