REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda menyampaikan satu di antara banyak keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-VIII tahun 2024 di Bangka Belitung adalah tentang hukum memanfaatkan dana haji hasil investasi setoran awal Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain.
Kiai Huda mengatakan, jadi judul fatwanya bukan apakah setoran awal calon jamaah haji itu boleh diinvestasikan atau tidak, ini perlu di luruskan.
Mengenai siapa pihak yang meminta fatwa tersebut, Komisi Fatwa MUI menceritakan bahwa sejak tahun 2019, sebelum Covid-19 melanda, teman-teman Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bersilaturahim ke MUI.
"(Mereka BPKH) meminta fatwa bahwa skema pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji itu tidak masuk pada kategori istitha'ah bagi jamaah haji, mengapa demikian karena saat itu skema pembiayaan adalah 50:50 artinya 50 dari jamaah haji, 50 persen dari subsidi hasil investasi keuangan haji," kata Kiai Huda dikutip dari MUI TV Official, Selasa (19/11)
Kiai Huda menyampaikan, skema itu jika terus dilakukan maka akan menyebabkan tidak sustainable pada keuangan haji. Dalam hitungan BPKH termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam waktu 15 atau 20 tahun keuangan haji akan habis.
Itu seperti skema ponzi yang melanda First Travel beberapa tahun yang lalu. Jadi calon jamaah umroh itu tidak bisa berangkat karena uangnya sudah habis. Ini yang dikhawatirkan oleh BPKH dan BPK.
"Jika skema penyelenggaraan ibadah haji masih terus dilakukan seperti itu, maka calon jamaah haji yang menunggu selama 20 tahun atau lebih itu tidak akan bisa berangkat karena uangnya sudah habis, digunakan untuk mensubsidi pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji yang berjalan, maka mereka minta fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia," ujar Kiai Huda.
Kiai Huda menerangkan, jadi dari tasawur dan deskripsi masalah tersebut maka para musyawirin bersepakat bahwa dengan konteks saat itu, skema pembiayaan seperti itu tidak dibenarkan.
"Karena apa? Di situ ada unsur kezaliman. Apa itu? Yaitu calon jamaah haji yang menunggu lama nanti bisa jadi dia tidak bisa berangkat karena uangnya habis," ujar Kiai Huda.
Ia menegaskan, terus siapa yang menanggung risikonya jika jamaah haji uangnya habis dan tidak bisa berangkat berhaji.
Komisi Fatwa MUI juga menetapkan di sana tidak ada rasa keadilan. Prinsip keadilan tidak bisa ditegakkan. Sebab calon jamaah haji yang menunggu lama mestinya dia berhak untuk mendapatkan pembagian yang lebih besar daripada calon jamaah haji yang menunggu hanya 5 tahun atau 10 tahun. Itu tidak sesuai dengan prinsip keadilan.
Kiai Huda menjelaskan, oleh karena itu salah satu rekomendasi yang dikeluarkan oleh para musyawirin dan diputuskan oleh MUI. Maka MUI menuntut atau merekomendasikan agar pembiayaan haji itu dilakukan dengan skema yang seadil-adilnya.
"Artinya bahwa seorang jamaah haji itu dibilang istithaah mampu kalau dia mampu membiayai perjalanan ibadah haji dengan uangnya sendiri, kalau dia tidak mampu berarti dia belum istithaah dan dimungkinkan memang betul disubsidi dari hasil investasi," jelas Kiai Huda.
Kiai Huda mengatakan, tentunya harus sesuai dengan porsi yang adil, jangan sampai seperti yang berjalan 50 persen dari uang jamaah haji dan 50 persen dari nilai investasi. Itu hitung-hitungannya tidak logis dan bisa membahayakan keuangan haji kedepannya.
Ia menegaskan, dengan adanya fatwa ini, tidak benar jika dianggap merepot pemerintah. Tidak benar jika dianggap merepotkan pengelola, dalam membuat skema pembiayaan ibadah haji. Fatwa ini tidak benar bahwa itu menyebabkan biaya haji itu mahal.
"Karena di dalam faktanya perjalanan ibadah haji, pembiayaan terus meningkat, biaya masyairnya meningkat dan itu harus dipahami oleh semua pihak termasuk calon jamaah haji, jadi kami tegaskan lagi fatwa ini mendorong agar pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan prinsip syariah," jelas Kiai Huda.
Kiai Huda mengatakan, salah satu prinsip syariah adalah menegakkan keadilan bagi semua calon jamaah haji.