Selasa 29 Oct 2024 13:22 WIB

BPJPH: Sertifikasi Halal Mudahkan Produsen dan Lindungi Konsumen

BPJPH ajak produsen tak anggap kewajiban sertifikasi halal sebagai beban.

Rep: Fuji EP/ Red: Hasanul Rizqa
Haikal Hassan Baras, Kepala BPJPH.
Foto: Republika/Prayogi
Haikal Hassan Baras, Kepala BPJPH.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memastikan, kewajiban sertifikasi halal bertujuan mewujudkan perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen produk. Pada saat yang sama, regulasi ini memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam menghasilkan produk yang berkualitas.

"Harus dipahami bahwa kewajiban sertifikasi halal justru bertujuan untuk menghadirkan perlindungan konsumen dan memberikan kemudahan bagi produsen produk, bukan sebaliknya," kata Kepala BPJPH Haikal Hasan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (29/10/2024).

Baca Juga

Haikal mengatakan, penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH) oleh pemerintah juga mempertimbangkan berbagai aspek teknis terkait. Dengan demikian, implementasi kewajiban sertifikasi halal diharapkan tidak menimbulkan kesulitan bagi dunia usaha. Pemberlakuan kewajiban ini pun diterapkan bagi produk-produk dengan batasan yang jelas.

"Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 4 tegas menyatakan bahwa seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, dengan batasan dan ketentuan yang jelas," ujar Haikal.

Menurut UU Nomor 33/2014 Pasal 1 UU, produk yang wajib bersertifikat halal ialah yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Adapun jasa yang wajib punya sertifikat halal meliputi penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, serta penjualan atau penyajian.

"Jadi, keliru kalau kemudian ada yang bilang laptop dan semacamnya juga perlu disertifikasi halal. Itu penafsiran yang tidak benar," ujarnya.

Haikal mengingatkan, UU tersebut juga menegaskan bahwa pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang tidak halal atau non-halal tentu dikecualikan dari mengajukan sertifikat halal.

"Yang non halal juga boleh beredar, asalkan mencantumkan keterangan tidak halal," ujar Haikal.

Pelbagai kemudahan juga menyertai. Misalnya, kewajiban sertifikasi halal dilaksanakan secara bertahap. Pasal 160 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 mengatur bahwa penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan berlangsung satu tahun, yakni sejak 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024.

"Artinya, terhitung 18 Oktober 2024, ketiga kelompok produk tersebut wajib bersertifikat halal. Kalau tidak, siap-siap bisa kena sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau penarikan produk dari peredaran," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement