REPUBLIKA.CO.ID, Dalam tradisi pernikahan di Indonesia, mahar atau mas kawin merupakan unsur penting yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan saat akad nikah.
Ansory Lc.Mg dalam buku Fiqih Mahar menjelaskan bahwa mahar diartikan sebagai pemberian dari pengantin laki-laki, berupa emas, barang, atau kitab suci, yang bisa diberikan secara kontan atau utang.
Namun, dalam hukum Islam, muncul pertanyaan mengenai sah atau tidaknya pernikahan jika mahar ditiadakan. Para ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait hal ini, dengan dua permasalahan utama yang sering dibahas.
1. Ketiadaan mahar sebagai syarat pernikahan
Pada masalah pertama, jika ketiadaan mahar diajukan sebagai syarat oleh suami, terdapat dua pendapat utama dari para ulama. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan bahwa pernikahan tetap sah meski tanpa mahar, karena mahar bukanlah rukun nikah. Namun, suami yang tidak memberikan mahar dianggap berdosa karena mahar adalah hak istri yang wajib ditunaikan.
Pendapat ini didukung oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Muqni':
فالشرط باطل أن يشترط أنه لا مهر لها ولا نفقة
ويصح النكاح.
"Suami mensyaratkan tidak adanya mahar dan nafkah ... maka syaratnya batil dan akad nikahnya tetap sah."
Sebaliknya, mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar adalah bagian dari rukun nikah. Jika ada kesepakatan untuk tidak memberikan mahar, maka pernikahan dianggap tidak sah. Imam ad-Dardir al-Maliki berkata dalam kitabnya, asy-Syarh ash-Shaghir:
وَالاتِّفَاقُ عَلَى إِسْقَاطِهِ مُفْسِدُ الْعَقْدَ.
"Kesepakatan untuk tidak adanya mahar dapat merusak akad nikah."