REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keadaan setiap manusia berbeda-beda satu sama lain. Ada yang hidup dengan keterbatasan dan serba berkecukupan. Ada pula yang bergelimang harta benda. Bagaimanapun, bagi seorang Muslim dan Mukmin, tolak ukurnya tidak bisa semata-mata materi, tetapi juga ketakwaan.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bertakwa lagi kaya, (yakni) yang menyembunyikan simbol-simbol kekayaannya."
Maknanya, agama ini mendorong umatnya untuk tidak hidup miskin, tetapi juga tidak sampai terjerumus pada kesombongan. Bila seseorang kaya dan tampil bersahaja, tidak bermewah-mewahan, maka hal itu lebih dicintai-Nya.
Ketakwaan tidak hanya tentang hubungan vertikal antara seorang hamba dan Tuhannya, tetapi juga relasi horizontal sesama manusia. Ungkapan "menyembunyikan simbol-simbol kekayaan" dalam hadits di atas dapat berarti orang Muslim yang kaya dan gemar berinfak dan bersedekah. Semua itu dilakukannya hanya demi mengharapkan ridha Allah SWT, tanpa ingin disiarkan orang banyak.
Para sahabat Rasulullah SAW banyak yang mengamalkan tuntunan itu. Misalnya, Utsman bin Affan. Sosok berjulukan dzun nurain itu sesungguhnya pedagang yang sukses, sehingga kaya raya. Namun, dalam pergaulan sehari-hari dia berpenampilan orang biasa. Tidak pernah dia menyombongkan diri.
Justru, Utsman selalu ikut terdepan saat umat membutuhkan sokongan. Misalnya, suatu ketika Nabi SAW mengimbau kaum Muslimin agar menyedekahkan hartanya di jalan Allah. Maka Utsman menginfakkan seratus ekor untanya. Demikian pula dengan sahabat-sahabat yang lain. Abdurrahman bin Auf juga menginfakkan ratusan ekor untanya sebagai modal kaum Muslimin dalam berjihad membela Islam.
Demikianlah ketika kekayaan menjadi jalan bagi seorang yang beriman untuk membuktikan ketakwaannya di hadapan Allah. Itulah orang kaya yang dicintai Allah. Mereka berhati-hati dalam memeroleh harta, sehingga hanya menerima yang halal. Mereka menyadari, kekayaan hanyalah titipan. Maka tidak seharusnya orang sombong dengan yang sejatinya bukan miliknya.
Kekayaan dapat menjadi al-birru, yakni kebaikan yang mendatangkan rahmat dan ridha Allah SWT. Kekayaan juga dapat memerangkan seseorang pada situasi istidraj, yakni kesenangan yang diberikan Allah, tetapi membuat si penerimanya kian jauh dari ampunan Allah dan justru semakin dekat pada azab-Nya.