Jumat 04 Oct 2024 17:27 WIB

MUI tak Bertanggung Jawab Soal Nama Produk Beer dan Wine? Ini Kata BPJPH

Sertifikasi halal harus mendapat penetapan dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa

Warga menunjukkan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertera di mie instan impor dengan latar belakang logo halal Indonesia di Jakarta, Senin (14/3/2022). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan label halal yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berlaku lagi secara bertahap.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Warga menunjukkan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertera di mie instan impor dengan latar belakang logo halal Indonesia di Jakarta, Senin (14/3/2022). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan label halal yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berlaku lagi secara bertahap.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Produk dengan nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapat sertifikat halal baru-baru ini viral di media sosial dan menjadi sorotan publik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Indonesia pun menyatakan tidak bertanggung jawab atas lolosnya produk-produk dengan nama barang haram tersebut. 

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Salamet Burhanudin menegaskan bahwa dalam prosedur penerbitan sertfikasi halal reguler BPJPH tetap melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yaitu melalui Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal terkait penetapan halal produknya. 

Baca Juga

Mamat menjelaskan, ada satu alur pendaftaran sertifikasi halal reguler yang harus mendapatkan ketetapan halal dahulu dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal. Menurut dia, ketetapan dari MUI itu harus diunggah di aplikasi SIHALAL dahulu sebelum BPJPH menerbitkan sertifikasi halal produk yang diajukan. 

"Artinya, apabila ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal tidak dikeluarkan, maka sertifikat halal tidak bisa terbit,” ujar dia dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Jumat (4/10/2024).

Prosedur itu, kata dia, sudah jelas ditetapkan dalam alur pendaftaran Sertifikasi Halal Reguler di poin 8 yang mana Komisi Fatwa MUI harus melakukan sidang fatwa dan mengunggah ketetapan halal di SIHALAL sebelum BPJPH menerbitkan sertifikat halal produk tersebut.

“Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan atau audit dan kemudian mengunggah laporan pemeriksaan di SIHALAL. Selanjutnya, Komisi Fatwa MUI melakukan Sidang Fatwa dan mengunggah Ketetapan Halal di SIHALAL. Setelah itu baru lah BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal,” ucap Mamat.

Lebih lanjut, dia juga menegaskan bahwa terkait kehalalannya, produknya yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Menurut dia, persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produknya saja, bukan soal kehalalan produknya. 

"Artinya masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku,” kata Mamat.

 

MUI tidak bertanggung jawab.. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement