REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami (Cak Amich) mengungkapkan masalah disparitas gender dalam dunia pendidikan yang kedepannya perlu ditangani oleh pemerintah. Menurut dia, isu kesetaraan gender itu pun telah diakomodasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan rancangan awal RPJMN 2025-2029 pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Dari sisi kebijakan dan dokumen perencanaan, itu diakomodasi isu kesetaraan dan keadilan gender," ujar Amich yang pernah bergabung dengan International Development Studies (IDS) University of Sussex Inggris ini saat menjadi narasumber Webinar Pendidikan dengan tema "Strategi Mengatasi Disparitas Gender di Bidang Pendidikan Untuk Mewujudkan Generasi Emas 2045", Sabtu (27/9/2024).
Dia menunjukkan bahwa dalam dokumen 17 Arah Pembangunan Menuju Indonesia 2045 poin IE14 telah dituliskan tentang keluarga berkualitas, kesetaraan gender, dan masyarakat inklusif.
"Jadi untuk memberi payung secara kebijakan di dokumen perencanaan bahwa aspirasi untuk mewujudkan keadilan gender, kesetaraan gender itu diadopsi di dalam dokumen perencanaan, baik jangka panjang (RPJPN) maupun jangka menengah (RPJMN)," ucap jebolan George Mason University Amerika Serikat tersebut.
Hal itu juga dikaitkan langsung dengan poin Indonesia Emas 2 (IE2), yakni untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang merata.
"Yang merata itu bisa kita maknai dalam dimensi yang sangat luas, baik apakah dalam konteks kewilayahan, dalam konteks status sosial ekonomi, maupun dalam konteks penduduk laki-laki dan penduduk perempuan yang punya hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas dan merata itu," kata Amich yang pernah belajar di Pesantren Maskumambang Jawa Timur.
Dalam pemaparannya, Amich mengungkapkan masalah disparitas gender yang masih terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia. Misalnya, dia menyampaikan bahwa pendidikan yang diraih anak laki-laki dan anak perempuan di hampir semua jenjang pendidikan memang hampir sama.
Namun, lanjut dia, pada saat menempuh pendidikan tingkat menengah jumlah perempuan justru berkurang. Dalam persentase penduduk dengan pendidikan minimal SMA, laki-laki tercatat sebanyak 42,62 persen. Sedangkan perempuan hanya berjumlah 37,60 persen.
"Untuk di menengah memang ada perbedaan tingkat penyelesaian pendidikan yang pada perempuan itu masih tertinggal, hanya 37,6 persen sementara yang laki-laki sudah 42,6 persen," ujar Amich.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas dalam dunia pendidikan itu adalah karena masalah keterbatasan ekonomi, sehingga laki-laki pun disekolahkan lebih dulu dari pada perempuan.
Anak perempuan banyak yang tertinggal pendidikannya karena diharuskan membantu orang tuanya mencari nafkah. Karena itu, mereka kedepannya perlu difasilitasi.
"Itu lebih banyak adalah karena faktor pengaruh ekonomi. Mereka kebanyakan ketidakadaan biaya dan itu bisa diberikan melalui beasiswa atau juga berbagai macam skema pembiayaan yang lain yang diperlukan sehingga mereka bisa melanjutkan dari satu jenjang ke jenjang yang lain," jelas tokoh kelahiran Gresik ini.
Namun, Prof Amich menunjukkan bahwa capaian dari anak-anak perempuan pada setiap jenjang pendidikan justru menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan di pendidikan tinggi pun, kata dia, tingkat partisipasi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
"Tapi kemudian ketika sudah lulus dan terutama masuk ke pasar kerja, itu menunjukkan ketertinggalannya," jelas Prof Amich.
Namun, menurut dia, perempuan yang memilih untuk menjadi guru dalam pendidikan usia dini menunjukkan angka yang positif. Sehingga, hal ini perlu disyukuri.
"Rupanya yang memilih profesi guru pada pendidikan anak usia dini itu justru banyak dari penduduk perempuan dan itu mungkin sifat dasar pengasuhan dan pembimbingan itu bisa ditemukan pada perempuan. Tentu sangat bagus dalam proses tumbuh kembang anak usia dini untuk supaya mereka siap menempuh pendidikan formalnya," kata Prof Amich.
Dalam webinar ini, Amich juga menyoroti masalah kurikulum pendidikan, teknik mengajar, praktik pembelajaran, dan sumber-sumber buku pembelajaran yang bias gender. Menurut dia, bias gender tersebut justru melanggengkan persepsi bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
"Nah ini yang perlu mendapatkan koreksi untuk seterusnya dan supaya pandangan tentang keadilan gender dan setaraan gender itu ditunjukkan dalam praktik pembelajaran," kata peraih sarjana IKIP Bandung tersebut.