REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang lelaki datang ke majelis Nabi Muhammad SAW. Seperti biasa, semua kalangan ingin menyerap ilmu dari sang sumber utama.
Tak disebutkan jelas siapa nama lelaki itu. Perawakan dan pembawaannya seperti kaum Arab Badui. Demikian kejadian ini diriwayatkan Anas bin Malik.
Anas menuturkan, lelaki Arab Badui ini memang menyimak ceramah Rasulullah SAW tentang hari kiamat. Namun, raut wajahnya gelisah. Seolah-olah ingin mencari celah untuk menyela Nabi SAW.
Ketika Rasul SAW sedang menjeda ceramahnya, tiba-tiba si Arab Badui berdiri. Tanpa basa-basi, ia melontarkan pertanyaan kepada Nabi SAW, “Kapankah hari kiamat terjadi?”
Nabi SAW memang layak digelari fathanah. Beliau bisa menjawab semua pertanyaan dari semua golongan. Cara menjawabnya pun disesuaikan dengan kapasitas tiap penanya.
Menjawab si Arab Badui, Rasulullah SAW tak hendak menerangkan ciri-ciri atau tanda-tanda hari akhir. Dan, beliau pun tak menjawab dengan menyebut persis kapankah hari pembalasan itu akan datang.
Yang beliau lakukan adalah balik bertanya kepada sang Arab badui. Sebuah pertanyaan yang akan melahirkan kaidah ilmu nan agung.
“Apa yang telah engkau persiapkan untuknya (hari kiamat)?"
Dengan spontan, si Arab Badui menjawab lugas, “Saya tidak mempunyai amalan yang banyak untuk mempersiapkan kedatangannya (hari kiamat), tetapi saya sungguh mencintai Allah dan Rasul-Nya."
“Seseorang (pada hari kiamat) akan bersama dengan orang yang dia cintai,” timpal Rasulullah SAW.
Kisah yang termaktub dalam hadis jalur periwayatan Imam Muslim itu memberikan sebuah ilmu. Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan dikumpulkan pada hari akhir bersama yang dicintainya itu.
Rasulullah tidak menjawab, semisal, “seseorang akan bersama Allah dan Rasul-Nya jika ia mencintai keduanya.” Namun, Nabi SAW meluaskan maknanya. Maka hadis itu dapat dibaca, "siapa saja, yang mengikrarkan cinta terhadap sesama atas dasar iman, maka ia akan bersamanya kelak saat hari akhir."
Tak berlebihan jika menyebut, persahabatan tak hanya akan berhenti di dunia. Persaudaraan akan kekal nanti hingga akhirat.
Berkawan dengan orang saleh memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan. Jika kita ingin berbuat maksiat, ada lingkungan yang mengingatkan dan menjaga kita. Jadi, kita pun mengurungkan niat perbuatan buruk tersebut. Beberapa ulama bahkan mewajibkan hukumnya berteman dengan orang saleh.
Islam juga hadir dengan segala kemungkinan persaudaraan. Dalam berkawan, layaknya rumah tangga, kadang dilanda ujian persahabatan, tak jarang diberi nikmat ukhuwah yang menguat. Saat ujian persaudaraan hadir, Islam pun memberikan kaidah yang mulia.
“Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam: masing-masing memalingkan muka dari yang lain saat keduanya bertemu dan orang terbaik dari keduanya adalah yang memulai ucapan salam” (HR Bukhari dan Muslim).
Seberat apa pun ujian ukhuwah, Islam memberikan waktu tiga malam untuk masing-masing diri introspeksi. Persaudaraan begitu sangat dihargai dalam agama ini. Janganlah berlarut-larut dalam bermusuhan. Bukankah kebersamaan lebih menyenangkan?