Jumat 20 Sep 2024 08:26 WIB

Hukum Menafsirkan Mimpi

Ini hukum menafsirkan mimpi menurut Islam.

ILUSTRASI Mimpi
Foto: dok pxhere
ILUSTRASI Mimpi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama bersepakat tentang kebolehan menceritakan mimpi dan meminta penakwilan. Bahkan, menurut Markaz al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang ateis.

Namun, dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan, merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama, seperti Ibnu Sirin.

Baca Juga

Dalam Islam, mimpi bukan hanya sekadar bunga tidur. Nabi-nabi terdahulu bahkan menjadikannya sebagai suatu sumber hukum. Sebab, wahyu Allah pun dapat sampai kepada mereka melalui mimpi.

Misal, kisah Nabi Ibrahim AS yang hendak menyembelih anak kesayangannya. Sebab, ia meyakini perintah Allah SWT datang melalui mimpinya (lihat QS as-Shaffaat: 102).

Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal sangat andal menakwilkan mimpi. Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang sujud kepadanya (lihat QS Yusuf: 4).

Setelah itu, Nabi Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya menteri Mesir saat itu. Demikian dikisahkan Alquran.

Dalam syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mimpi tidak lagi menjadi dalil (hujjah) untuk sebuah hukum. Imam asy-Syathibi dalam Al-I'tisham menegaskan, "Sesungguhnya mimpi dari selain para nabi secara syar'i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apa pun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Apabila diperbolehkan, maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan, maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya."

Menurut Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi, para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah. Jadi, mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Di samping itu, mimpi bisa juga menjadi pelajaran (ibrah) apabila sesuai dengan dalil syar'i yang sahih.

Rasulullah SAW menakwil mimpi ...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement