REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada hitam, ada pula putih. Ada positif, ada pula negatif. Demikianlah keadaan eksistensial yang dialami dan disaksikan manusia.
Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa segala hal Dia ciptakan berpasang-pasangan. "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)" (QS az-Zariyat: 49).
Dalam hal manusia pun, ada laki-laki dan perempuan. Saling suka di antara keduanya adalah hal yang wajar dan termasuk sunatullah.
Sudah sepantasnya, seorang lelaki berharap mendapatkan pasangan, yakni wanita yang baik. Begitu pula dengan perempuan; pasti menginginkan sosok pria yang baik.
Ihwal jodoh, Allah telah menyatakan ketentuan-Nya, sebagaimana disebut dalam firman-Nya berikut ini.
اَلۡخَبِيۡثٰتُ لِلۡخَبِيۡثِيۡنَ وَالۡخَبِيۡثُوۡنَ لِلۡخَبِيۡثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيۡنَ وَالطَّيِّبُوۡنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ
Artinya, "Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)" (QS an-Nur: 26).
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa perempuan-perempuan yang tidak baik biasanya menjadi istri laki-laki yang tidak baik pula. Begitu pula: laki-laki yang tidak baik menjadi pasangan perempuan-perempuan yang tidak baik pula. Sebab, bersamaan dengan sifat-sifat dan akhlak itu, terkandung adanya persahabatan yang akrab dan pergaulan yang erat.
Bagaimana bila yang terjadi adalah, bahwa pria yang baik menikah dengan perempuan yang kurang baik; atau wanita yang baik dengan lelaki yang kurang baik?
Pada hakikatnya, takdir Allah dalam hal jodoh pasti adil. Jika dihayati secara mendalam, kita akan menemukan bahwa tidak ada cacat sedikit pun dari takdir-takdir-Nya.
Justru, pikiran kitalah yang gagal menafsirkan takdir Allah atau karena kita yang tidak mengembalikan segala urusan kepada-Nya.
Tidak segala hal dapat kita ukur dengan "selera keadilan" kita, yang kerap bercampur dengan keinginan dan kepentingan sepihak. Diri kita terbatas, sedangkan pengetahuan dan kekuasaan Allah tidaklah terbatas.
Di balik ujian dari pasangan yang berlawanan, ada hikmah yang menjadi rahasia Allah. Ambil contoh, Nabi Nuh dan Nabi Luth AS. Masing-masing diuji dengan istri yang berkhianat terhadap ketauhidan yang dibawa oleh sang suami.
Dalam kasus ini, Allah hendak menguji ketauhidan dan prioritas cinta sang suami. Apakah Nuh dan Luth AS memilih Allah ataukah istri mereka masing-masing yang durhaka itu? Ini juga menjadi peringatan bagi keduanya bahwa, tanpa seizin Allah, istri pun tidak dapat diselamatkan dari siksa-Nya.
Begitu pula dengan kasus Asiah. Perempuan yang mulia ini diuji Allah dengan sosok suami yang durhaka: Firaun. Pada akhirnya, terbukti bahwa dirinya lulus ujian, yakni dengan terus mempertahankan iman dan Islam hingga akhir hayat.
"Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: 'Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim'" (QS at-Tahrim: 11).