REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Menghadapi ancaman serangan udara dan pengeboman yang terus-menerus, Youssef Saad, pemain oud berusia 15 tahun asal Gaza, Palestina mengendarai sepedanya melalui jalan-jalan yang dilanda perang di kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara, dengan alat musiknya diikatkan di punggungnya.
Saad bernyanyi untuk anak-anak yang telah menanggung kengerian perang setiap hari dalam 11 bulan konflik. Saad bernyanyi untuk mencoba memberi mereka sedikit kegembiraan atau pengalih perhatian.
"Rumah-rumah di kota saya dulunya penuh dengan mimpi," kata Saad, sambil menatap puing-puing kamp pengungsi perkotaan yang telah berusia puluhan tahun, yang sebelum perang dibangun dan dihuni banyak orang.
"Sekarang, semuanya sudah tidak ada," kata Saad, dikutip dari laman Asia One, Kamis (5/9/2024).
Saad belajar di Konservatorium Musik Nasional Edward Said di dekat Kota Gaza sebelum hancur menjadi reruntuhan dalam perang yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah kantong itu.
Sekarang, tinggal bersama kerabat setelah rumahnya sendiri hancur, ia adalah satu dari lima bersaudara yang masa depannya telah hancur.
Ayahnya, seorang pegawai pemerintah di Otoritas Palestina, selalu mendukung impian Saad untuk menjadi seorang musisi.
Namun sekarang, fokus Saad telah bergeser. Ia menghabiskan hari-harinya di pusat kegiatan Jabalia, memainkan oud dan bernyanyi untuk anak-anak yang trauma karena perang.
Pertumpahan darah terbaru dalam konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun dipicu pada 7 Oktober 2023 ketika kelompok Islam Palestina Hamas yang memperjuangkan kepemerdekaan menyerang Israel yang menjajah Palestina. Serangan pejuang kemerdekaan yakni Hamas menewaskan 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang Israel, menurut penghitungan Israel.
Serangan Israel berikutnya terhadap Gaza yang diperintah Hamas telah membunuh lebih dari 40.800 warga Palestina kebanyakan wanita dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas. Serangan Israel sang penjajah membuat hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi dan menghancurkan daerah kantong yang terkepung itu.
"Setiap rumah menyimpan tragedi, beberapa orang kehilangan ibu mereka, yang lain kehilangan ayah mereka, tetangga mereka, atau teman mereka," kata Saad.
Meskipun dalam bahaya, Saad bertekad untuk melanjutkan misinya.
"Kami mencoba membantu meningkatkan kesehatan mental mereka, bahkan jika itu berarti menempatkan diri saya dalam risiko," kata Saad.
"Ini adalah tugas saya kepada anak-anak," ujarnya.
Saad menolak untuk menyerah pada impiannya untuk masa depan.
"Kami, anak-anak Palestina, berusaha untuk tetap tangguh, bahkan dalam menghadapi genosida (yang dilakukan Israel)," ujarnya.
Saad mengatakan ia hidup dengan pepatah yang membantunya melewati hari-hari tergelap.
"Jika kalian hidup, hiduplah dengan bebas, atau matilah dengan berdiri seperti pohon," ujar Saad.