REPUBLIKA.CO.ID, Demonstrasi yang membakar kota-kota di Inggris berawal dari peristiwa penikaman yang menewaskan nyawa tiga gadis belia pada akhir Juli lalu. Para pengunjuk rasa yang termakan isu hoaks menyalahkan imigran Muslim sebagai pelaku pembunuhan. Padahal, polisi sudah menyatakan pembunuh bukanlah Muslim bahkan pelaku yang merupakan remaja Kristen muncul di pengadilan.
Di Southport pada Selasa lalu, para pengunjuk rasa melempari batu bata ke arah polisi dan masjid setempat, melukai lebih dari 50 polisi. Keesokan harinya di London,, protes serupa terjadi dengan para demonstran di dekat Downing Street meneriakkan, "Selamatkan anak-anak kami," dan "Kami ingin negara kami kembali."
Inti dari protes tersebut adalah keyakinan bahwa tersangka, yang diidentifikasi sebagai Axel Rudakubana, 17 tahun, dan lahir dari orang tua Rwanda di Cardiff, adalah seorang imigran Muslim, padahal bukan.
Pada Kamis, Hakim Andrew Menary di Liverpool Crown Court mencabut perintah untuk tidak menyebutkan identitas Rudakubana karena kerusuhan yang terjadi. Rudakubana juga didakwa pada Kamis lalu dengan tiga tuduhan pembunuhan, sepuluh tuduhan percobaan pembunuhan dan satu tuduhan kepemilikan benda tajam.
Lantas, darimana dan bagaimana informasi hoaks ini dimulai?
Pada Senin, tiga anak perempuan - berusia 6, 7 dan 9 tahun - tewas akibat penikaman di sebuah acara tarian dan yoga bertema Taylor Swift untuk anak-anak di Southport. Delapan anak dan dua orang dewasa juga terluka.
Tidak banyak informasi yang dirilis mengenai tersangka mengingat dia masih berusia 17 tahun. Hukum di Inggris menyatakan jika mengidentifikasi tersangka yang masih di bawah umur adalah sebuah tindak pidana sampai proses hukum dimulai.
Meski demikian, dengan tidak adanya informasi dari organisasi media dan Kepolisian Merseyside, spekulasi yang tidak berdasar menghasilkan banyak unggahan bernada Islamofobia dan anti-imigran di media sosial.
Klaim palsu tentang asal-usul tersangka menyebar dengan cepat. Diantara informasi hoaks yang beredar yakni munculnya nama Ali al-Shakati sebagai pelaku tanpa adanya sumber resmi. Aljazeera di Instagram resminya melaporkan, nama tersebut bahkan tidak pernah ada. Ada juga klaim bahwa pelaku telah tiba di Inggris dengan perahu kecil pada tahun 2023, yang juga palsu.
Menurut Marc Owen Jones, seorang profesor studi Timur Tengah di Universitas Hamad bin Khalifa di Doha, di mana penelitiannya berfokus pada strategi pengendalian informasi, kesalahan tersebut sangat besar.
Pada 30 Juli, sehari setelah kejadian, Jones telah melacak setidaknya 27 juta tayangan di media sosial untuk postingan yang menyatakan atau berspekulasi bahwa penyerang adalah seorang Muslim, seorang migran, pengungsi, atau orang asing, katanya lewat platform X.
Influencer Andrew Tate juga mengatakan dalam sebuah video di X bahwa seorang "migran tak berdokumen" yang "tiba dengan perahu" telah menyerang para gadis di Southport.
"Jiwa orang Barat begitu hancur sehingga ketika para penjajah membantai anak-anak perempuan Anda, Anda sama sekali tidak melakukan apa-apa," kata Tate.
Akun-akun lain di X juga menyalahkan Muslim atas serangan tersebut, termasuk Channel 3 Now, yang mengaku sebagai organisasi berita namun latar belakangnya masih belum jelas. Akun ini kemudian menyatakan permintaan maaf atas penyebaran informasi yang keliru tersebut, tulis Aljazeera.
Our response on the misleading information published in a recent article on our website, Channel3 NOW. We deeply regret any confusion or inconvenience this may have caused.https://t.co/j51ToIDl4H
— Channel3 Now (@channel3nownews) July 31, 2024
Siapa penyebar informasi hoaks tersebut?
Pada Selasa, Tommy Robinson, seorang juru kampanye sayap kanan anti-Islam, mengatakan kepada 800.000 pengikutnya di X bahwa ada "lebih banyak bukti yang menunjukkan Islam adalah masalah kesehatan mental dan bukannya agama perdamaian".
"Mereka menggantikan bangsa Inggris dengan para pendatang yang bermusuhan, penuh kekerasan, dan agresif. ... Anak-anak Anda tidak penting bagi [pemerintah Partai Buruh]," kata dia.
Keterlibatan aktivis sayap kanan..