REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menetapkan dalam Pasal 103, upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi (a) deteksi dini penyakit atau skrining, (b) pengobatan, (c) rehabilitasi, (d) konseling, dan (e) penyediaan alat kontrasepsi.
Poin (e) yakni penyediaan alat kontrasepsi menjadi kontroversi. Hal ini juga yang menjadi alasan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis mengusulkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2024 direvisi atau dicabut.
"Revisi atau cabut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 karena tidak sesuai dengan Pancasila dan agama," kata Kiai Cholil kepada Republika, Selasa (6/8/2024)
Menurut Kiai Cholil, menyediakan alat kontrasepsi itu berarti boleh seks bebas dan hanya menekan penularan penyakit menular menurut medis. Tapi itu abai menurut agama.
Ia menegaskan, semua agama melarang berzina, begitu ruh sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab tidak ada agama yang memperbolehkan seks bebas.
"Akhir-akhir ini terasa banyak kebijakan publik dari pemerintah yang minim melibatkan partisipasi publik dan acap kali mengusik keimanan dan keagamaan umat," ujar Kiai Cholil.
Sebelumnya, diberitakan penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai kebablasan. Penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar dalam derajat tertentu bisa dimaknai sebagai “lampu hijau” dari negara untuk terjadinya pergaulan bebas di kalangan peserta didik.
“Kami menilai pemberian alat kontrasepsi bagi pelajar sebagai bentuk kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Dengan menyediakan alat kontrasepsi seakan memberikan restu bagi pelajar kita untuk berhubungan bebas. Padahal di satu sisi kita ingin sebisa mungkin mencegah terjadinya hubungan seks di luar nikah bagi pelajar kita,” kata Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, Senin (5/8/2024).
Huda memahami PP 28/2024 terutama pada Pasal 103 tentang kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja bertujuan untuk melindungi pelajar dari tindakan yang bisa menghancurkan masa depan mereka. Dalam pasal tersebut disebutkan upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
“Hanya saja agak mengganjal saat dalam poin pelayanan kesehatan reproduksi salah satunya ada penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar,” ujar Huda.
Huda mempertanyakan kualifikasi atau persyaratan tentang pemberian alat kontrasepsi bagi pelajar ini. Kapan waktu diberikan, dalam kondisi apa, atau siapa yang berhak memberikan alat kontrasepsi ini.
“Jadi ini pemerintah perlu menjelaskan kepada publik terkait urgensi penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar beserta teknis bagaimana pemberian alat kontrasepsi tersebut. Kami khawatir terjadi penyalahgunaan yang malah mendorong para pelajar untuk terjebak dalam hubungan bebas,” katanya.
Politikus PKB ini menyarankan agar upaya menjaga kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja ditekankan pada upaya preventif dengan memberikan informasi serta edukasi bahaya seks bebas. Kementerian Kesehatan dan Kemendikbud Ristek bisa bekerja sama menyusun satu modul bersama sebagai acuan pemberian informasi serta edukasi bahaya seks bebas tersebut.
“Yang paling penting dalam menjaga kesehatan sistem reproduksi anak usia sekolah dan remaja adalah menjauhkan mereka dari pergaulan bebas baik antar lawan maupun sesama jenis. Jadi informasi dan edukasi yang diberikan baik melalui kegiatan intra maupun ekstrakurikuler harus diarahkan ke ikhitiar tersebut,” ujar Huda.