Senin 29 Jul 2024 13:43 WIB

Belajar dari Kisah Nabi Harun, Islam Bolehkan Nepotisme?

Nabi Harun adalah saudara Nabi Musa AS.

ILUSTRASI Alquran menyebutkan kisah Nabi Musa meminta agar saudaranya diangkat menjadi pembantunya dalam urusan dakwah.
Foto: dok wiki
ILUSTRASI Alquran menyebutkan kisah Nabi Musa meminta agar saudaranya diangkat menjadi pembantunya dalam urusan dakwah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme berarti 'kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan.' Lantas, bagaimanakah Islam memandang perkara ini?

Memang, ada nabi-nabi yang melibatkan anggota keluarganya untuk membantunya dalam memimpin umat. Misalnya, Nabi Musa AS yang memohon kepada Allah agar Dia mengangkat derajat saudaranya, Nabi Harun AS. Hal ini disebut dalam Alquran surah Taha ayat ke-29 hingga 32.

Baca Juga

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي . هَارُونَ أَخِي . اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي . وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي .

Artinya, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku; teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku.”

Dalam Tafsir Kementerian Agama, dijelaskan bahwa ayat di atas menerangkan bahwa Nabi Musa AS mengusulkan kepada Allah agar yang diangkat menjadi pembantunya adalah Harun. Namun, pengangkatan itu bukan berarti nepotisme.

Kakak Nabi Musa AS tersebut adalah sosok yang saleh. Harun AS pun memiliki kapabilitas yang tidak dipunyai Musa AS, yakni antara lain ucapannya fasih.

Intonasi bicaranya saudara Nabi Musa itu pun seperti umumnya orang Mesir. Sebab, ia banyak bergaul dengan orang-orang Mesir.

Bandingkanlah dengan Nabi Musa, yang sejak bayi dirawat di Istana Firaun. Sebab, seorang elite istana, yakni istri Firaun yang diam-diam meyakini tauhid, Asiah, menemukannya saat masih bayi terapung di sungai.

Sewaktu masih kecil, Musa AS juga pernah mengalami kejadian. Suatu ketika, Firaun marah karena Musa kecil menarik janggutnya. Asiah lalu menenangkan sang suami dan mengatakan bahwa "dia masih kecil" sehingga belum mengerti, mana tindakan yang berbahaya.

Firaun lantas mengujinya dengan meletakkan buah dan bara api kecil di hadapannya. Musa kecil bermaksud meraih buah-buahan, tetapi tangannya dialihkan oleh malaikat. Maka, ia pun mengambil bara api dan meletakkannya di lidahnya. Akibatnya, lidah Musa AS menjadi cedal sejak saat itu.

Begitu diangkat menjadi nabi, Musa memohon kepada Allah agar kekakuan di lidahnya dihilangkan sebagian, sebatas agar kata-katanya bisa dipahami orang-orang. Sufi Hasan al-Bashri mengomentari hal ini: "Para rasul hanya meminta sebatas yang diperlukan. Karena itulah, lidah Musa masih kaku."

Jadi, permintaan Musa AS agar Allah mengangkat adiknya menjadi asistennya bukan lantaran nepotisme. Sebab, memang kapabilitas yang dimiliki Harun AS dapat melengkapi apa-apa yang tidak dimiliki sang rasul dari kalangan Bani Israil itu.

Sahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Dzar al-Ghifari, pernah meminta kepada Rasulullah SAW agar dirinya dapat menduduki sebuah jabatan publik. Namun, Nabi SAW tidak memperkenankan permintaan itu, padahal ia adalah seorang sahabat yang saleh dan dekat dengan beliau.

Sebab, penilaian Nabi SAW didasarkan pula pada aspek meritokrasi, bukan nepotisme. Dalam pandangan Rasulullah SAW, Abu Dzar belum pantas menduduki jabatan karena besarnya amanah yang akan ditanggungnya.

Lebih lanjut, Rasulullah SAW menekankan dua hal yang harus terpenuhi ketika menduduki sebuah jabatan, yaitu kepantasan dalam mengembannya dan cara memperoleh jabatan pun mesti secara baik.

Jadi, jika memang kerabat atau orang dekat memliki kemampuan yang dibutuhkan, tidak mengapa untuk mengisi jabatan. Namun, bisa saja kedekatan tidak menjadi jalan untuk meraih jabatan, selama memang kapabilitasnya diragukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement