REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu ketika, Muhallim bin Juttsamah turut serta dalam sebuah pasukan patroli (sariyah) yang ditugaskan Nabi Muhammad SAW. Atas arahan Rasulullah SAW, kelompok ini dipimpin Abu Qatadah al-Anshari. Mereka bertugas pergi ke Gunung Adham, dekat Makkah, untuk menyelidiki keadaan musuh.
Sesampainya di daerah tujuan, Abu Qatadah dan kawan-kawan mendapati kebanyakan kaum musyrikin setempat telah menyingkir dari sana. Namun, ada sebuah rumah yang tampaknya masih berpenghuni. Tim ini pun mendekati bangunan tersebut.
Mereka lalu berjumpa dengan seorang pria yang berdiri di depan pintu rumah itu. Mengutip Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, nama lelaki tersebut ialah Amir bin al-Adhbath al-Asyja’i.
Abu Qatadah lantas mengucapkan salam lengkap kepadanya, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Amir.
Tiba-tiba, tanpa komando siapapun, Muhallim bin Juttsamah langsung menghunuskan pedangnya. Leher Amir bin Adhbath pun dengan cepat ditebasnya. Lelaki yang baru saja tuntas menjawab salam itu meninggal seketika.
Betapa kagetnya Abu Qatadah dan anggota sariyah lainnya. Dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa Muhallim menjawab keheranan mereka.
“Ia tadi menjawab salam hanya untuk berpura-pura! Sungguh, ia termasuk golongan musyrik,” kata Muhallim.
Setelah berkata itu, ia merebut harta benda dan hewan ternak milik si mendiang. Barang-barang itu hendak diserahkannya kepada Nabi SAW sebagai harta rampasan (ghanimah).
Begitu kembali ke markas, Abu Qatadah selaku komandan tim sariyah langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Tampak beliau sangat kecewa dan sekaligus bersedih hati.
Nabi SAW kemudian bersabda kepada Muhallim, “Dosamu tidak akan diampuni Allah.”
Mendengar itu, prajurit Muslim ini menjadi sangat sedih. Sampai-sampai, dirinya menangis tersedu-sedu di hadapan Nabi SAW. Ia begitu menyesali perbuatannya yang telah menuduh seseorang sebagai kafir.
Usai kejadian ini, turunlah firman Allah, yakni surah an-Nisa ayat 94.
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ فَتَبَـيَّـنُوۡا وَلَا تَقُوۡلُوۡا لِمَنۡ اَ لۡقٰٓى اِلَيۡكُمُ السَّلٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنًا ۚ تَبۡـتَـغُوۡنَ عَرَضَ الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا فَعِنۡدَ اللّٰهِ مَغَانِمُ كَثِيۡرَةٌ ؕ كَذٰلِكَ كُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلُ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيۡكُمۡ فَتَبَـيَّـنُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepadamu, 'Kamu bukan seorang yang beriman,' (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Tujuh hari sesudah peristiwa ini, tersiar kabar bahwa Muhallim meninggal dunia karena terlalu bersedih hati. Orang-orang hendak mengubur jenazahnya.
Namun, mereka kemudian panik. Sebab, setiap kali mayat almarhum hendak dikebumikan, tanah kuburan bergolak. Seakan-akan, bumi menolak jasad Muhallim.
Sebagian sahabat lalu melapor kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Jangankan dia (Muhallim), sedangkan orang yang lebih jahat daripadanya diterima bumi jua. Dia dimuntahkan dari bumi, atas kehendak Allah SWT. Ini sebagai nasihat kepada kalian semua.”
Nabi SAW mengisyaratkan, itulah balasan yang diterima seorang Muslim yang telah serampangan menuduh orang sebagai kafir. Akhirnya, jenazah Muhallim diangkut ke celah bukit, lalu ditimbun dengan batu-batu besar.