Jumat 19 Jul 2024 19:06 WIB

Israel Serang Sekolah di Gaza dan Penilaian Rusia

Rusia menilai Israel melewati batas.

Massa dari berbagai elemen menggelar aksi bela Palestina di depan Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Ahad (17/12/2023). Mereka menuntut segera dilakukannya gencatan senjata agar korban sipil tidak semakin bertambah. Mereka juga mengutuk tindakan Amerika Serikat yang memveto resolusi Dewan Keamanan PBB soal Gaza.
Foto: Republika/Prayogi
Massa dari berbagai elemen menggelar aksi bela Palestina di depan Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Ahad (17/12/2023). Mereka menuntut segera dilakukannya gencatan senjata agar korban sipil tidak semakin bertambah. Mereka juga mengutuk tindakan Amerika Serikat yang memveto resolusi Dewan Keamanan PBB soal Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasukan Israel menggempur Sekolah Al-Falah di lingkungan Zaytoun di tenggara Kota Gaza pada Kamis malam (18/7) sehingga menewaskan dua warga sipil dan melukai lima orang lainnya.

Sejumlah sumber lokal melaporkan bahwa para korban, termasuk dua korban tewas dan lima korban luka, dievakuasi ke Rumah Sakit Al-Ahli Arab di Kota Gaza setelah ledakan mematikan tersebut.

Baca Juga

Agresi Israel yang masih berlangsung di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, sejauh ini telah mengakibatkan 38.848 lebih warga Palestina terbunuh. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.

Selain itu, berdasarkan data awal, serangan Israel juga telah menyebabkan lebih dari 89.459 orang mengalami luka dan menyebabkan ribuan orang masih terjebak di bawah reruntuhan.

Sikap Rusia

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyebut perang Israel di Jalur Gaza sama saja dengan melakukan hukuman kolektif karena jumlah korban tewas di daerah kantong pesisir yang terkepung itu telah mendekati 40.000 orang.

Berbicara kepada wartawan di markas besar PBB di New York, Rabu (17/7), Lavrov mengutuk serangan lintas batas yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober dan menyatakan bahwa Rusia telah secara konsisten melakukan hal tersebut sejak serangan itu terjadi.

Namun, dia menegaskan bahwa perang balasan Israel telah melewati batas dan sekarang menjadi bentuk hukuman kolektif terhadap 2,3 juta warga Palestina di wilayah tersebut.

“Jika menyangkut hukuman kolektif yang melanggar hukum humaniter internasional, seseorang tidak bisa melawan satu bentuk pelanggaran melalui pelanggaran lainnya. Prinsipnya sama di sini,” katanya.

Hizbullah, kelompok paramiliter dan politik Lebanon, telah terlibat dalam serangkaian serangan lintas batas yang meningkat selama berbulan-bulan dengan Israel dalam upaya untuk meningkatkan tekanan pada Tel Aviv agar menyetujui gencatan senjata.

Lavrov mengatakan kelompok itu sangat menahan diri dalam tindakannya, tetapi ada upaya di Israel untuk memprovokasi mereka agar terlibat konflik secara penuh. Rusia, sebutnya, melakukan segala kemungkinan untuk meredakan ketegangan.

“Baik Hizbullah, pemerintah Lebanon, maupun Iran tidak menginginkan perang besar-besaran dan karena adanya kecurigaan bahwa beberapa kalangan di Israel sedang berusaha mencapai hal tersebut, untuk memprovokasi perang besar-besaran, mencoba melibatkan AS, mencoba untuk mengambil keputusan,” ujarnta.

Dia menilai sangat buruk jika ada kelompok yang berusaha mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan bangsanya sendiri.

Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional yang keputusan terbarunya memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militer di kota selatan Rafah, tempat lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum negara itu diinvasi pada 6 Mei.

Tidak terpengaruh, Israel terus melanjutkan serangannya terhadap kota yang menjadi pilihan terakhir bagi banyak pengungsi yang diperintahkan oleh Israel untuk pergi ke kota tenda yang luas di dekat pantai. Namun Israel telah berulang kali mengebom zona aman al-Mawasi yang menyebabkan puluhan warga sipil tewas.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement