Selasa 09 Jul 2024 15:46 WIB

Bagaimana Menolong Orang yang Zalim?

Rasulullah SAW berpesan agar Muslimin menolong mereka yang zalim dan dizalimi.

Zalim kezaliman (ilustrasi)
Foto: dok pxhere
Zalim kezaliman (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Idealnya, hubungan antarsesama manusia berlangsung dalam suasana yang harmonis. Dalam arti, yang satu tidak merugikan yang lain. Kondisi itu penting untuk dibangun dan dipelihara, terlebih lagi oleh kaum Muslimin. Sebab, Islam adalah agama yang menebar rahmat kepada seluruh semesta (rahmatan lil 'alamin).

Acap kali, keharmonisan terganggu oleh orang-orang yang berlaku zalim terhadap sesama insan. Perbuatan itu juga akan merusak tatanan umum.

Baca Juga

Bentuk kezaliman bisa bermacam-macam, tetapi polanya selalu sama. Ini terjadi ketika individu atau pihak yang kuat atau berkuasa menindas mereka yang lemah atau nirdaya.

Terkait itu, ada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang penting disimak. Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, "Tolonglah saudaramu, baik yang zalim maupun yang dizalimi."

Ketika mendengarkan nasihat itu, para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara menolong orang yang zalim?"

Beliau menjawab, "Engkau mencegah dia dari berbuat zalim. Maka sesungguhnya engkau telah menolongnya."

Pencegahan yang dimaksud bisa macam-macam bentuknya. Mulai dari lisan hingga perbuatan. Sebagai contoh, ketika seorang Muslim menyaksikan seseorang merencanakan jahat kepada yang lain, maka langsung katakan kepadanya, "Jangan sampai kamu melakukannya."

Cara yang paling ampuh adalah dengan membuat suatu sistem yang menangkal kezaliman. Ini mengandaikan bahwa pencegah kezaliman memegang kekuasaan. Hal itu juga sudah diisyaratkan dalam hadis Nabi SAW yang lain, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim.

"Aku (Abu Sa’id Al Khudri) pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan kedua tangannya. Jika tidak mampu melakukannya, maka hendaknya dengan lisannya. Jika tidak mampu lagi, maka hendaknya (mencegah kemunkaran) dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.'"

"Dengan kedua tangannya" tidak selalu berarti harfiah. Seorang presiden atau gubernur, misalnya, bisa mencegah maksiat di wilayahnya dengan cara membuat regulasi terkait. Bahkan, tindakannya itu bisa jauh lebih efektif ketimbang dakwah yang dilakukan satu atau dua orang dai.

Dari uraian di atas, tampak hubungan dialektis dalam menolong orang-orang agar terlepas dari kezaliman, baik mereka sebagai pelaku atau korban. Ketika lisan dan perbuatan tidak mampu juga melakukannya, maka hati yang "menjerit" sudah dinilai suatu kebaikan bila memang diniatkan untuk menolong sesama Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement