REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejatinya, kedudukan ilmu ('ilm) dan orang berilmu ('aalim) dalam Islam sangat mulia. Ketika ayat-ayat Alquran merangkai kata iman dan amal saleh (amanuu wa 'amilish-shalihat), maka di antara keduanya ada ilmu.
Sebab, ilmu yang mentransformasikan iman dalam kalbu menjadi amal saleh dalam kehidupan. Tanpa ilmu, iman akan melahirkan amal sayyi'ah (buruk). Oleh karenanya, setiap Muslim wajib menuntut ilmu, baik ilmu keagamaan maupun kemanusiaan dan kealaman (HR Ibnu Majah).
Pada buku Inilah Rasulullah SAW yang ditulis Salman Al-Audah mengutip riwayat dari Abu Darda' RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya sebagai tanda ridha bagi penuntut ilmu.
Bagi orang berilmu akan diminta ampunan oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan di dasar lautan. Keutamaan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Ulama adalah pewaris para nabi dan mereka tidak mewariskan dinar ataupun dirham, dan hanya mewariskan ilmu. Maka, siapa saja yang mengambilnya maka ia telah memperoleh bagian yang banyak" (HR at-Tirmidzi).
Dalam pandangan dunia Islam, ilmu bukanlah untuk ilmu semata atau bebas nilai, tetapi ilmu harus bermakna dan berpihak pada kebenaran dan kebaikan. Sebab, ilmu bersumber dari Zat Yang Mahabenar dan Mahabaik, yakni Allah SWT.
Manakala ilmu didapatkan dengan cara salah (manipulatif) yang bertentangan kaidah ilmiah dan digunakan untuk menindas umat manusia dan lingkungan alam, maka terjadi kezaliman intelektual.
Sikap kemunafikan selalu menimbulkan kezaliman intelektual dalam tindakan yang destruktif terhadap tatanan sosial dan alam. Data atau hasil penelitian bukan lagi didasarkan pada objektivitas, tetapi sesuai subjektivitas penguasa atau pemilik modal.
Kezaliman intelektual kadang tidak telihat secara kasat mata, akan tetapi wujudnya mencederai dan menghancurkan kehidupan umat manusia.
Setidaknya, kezaliman intelektual dapat dibagi tiga macam.
Pertama, ilmu yang tak diajarkan. Ketika seorang berilmu tapi enggan mengajarkan, maka ia telah berlaku zalim terhadap dirinya dan orang yang berhak menerimanya.
Ia khawatir tidak mendapat apresiasi jika orang lain lebih pandai. Ilmunya tidak mendatangkan kebaikan bahkan menimbulkan dosa.
View this post on Instagram
Ketiga, ilmu yang disalahgunakan. Orang pintar yang tidak punya rasa kemanusiaan (integritas moral, adab) akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan duniawi (ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan).
Kepintaran hanya digunakan untuk menipu, merekayasa kebijakan, dan keputusan hukum demi kepentingan pribadi dan kroni. Data dan informasi yang diperoleh dimanipulasi agar layak dijadikan pijakan, tapi dikemas seakan kebebaran.
Ketika hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan syarat calon presiden dan wakil presiden, lalu dinyatakan melanggar etik oleh Majelis Kehormatan, maka perilaku hakim tersebut merupakan kezaliman intelektual, sebab mengkhianati adab keilmuan.
Abdullah bin Mas'ud RA berkata, "Seandainya ahli ilmu menjaga ilmu dan meletakkan pada ahlinya, niscaya akan memelihara penduduk zamannya. Akan tetapi, mereka menyerahkan kepada ahli dunia untuk memperoleh harta, sehingga merendahkan diri di hadapan ahli dunia."