Senin 24 Jun 2024 06:48 WIB

Di Balik Alasan Jamaah Perempuan Wajib di Shaf Belakang

Shaf perempuan terdepan berdekatan dengan jamaah laki-laki di shaf terakhir.

Umat Islam menunaikan shalat Idul Adha 1445 Hijriah secara berjamaah di Jalan Jatinegara Barat dan Jalan Matraman Raya, Jatinegara, Jakarta, Senin (17/6/2024). Umat Islam di Indonesia melaksanakan Shalat Idul Adha 1445 H mengikuti ketetapan pemerintah pada Senin (17/6/2024).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Umat Islam menunaikan shalat Idul Adha 1445 Hijriah secara berjamaah di Jalan Jatinegara Barat dan Jalan Matraman Raya, Jatinegara, Jakarta, Senin (17/6/2024). Umat Islam di Indonesia melaksanakan Shalat Idul Adha 1445 H mengikuti ketetapan pemerintah pada Senin (17/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, Tak sedikit kalangan orientalis yang berpandangan bahwa agama Islam itu bukanlah agama yang menghargai wanita. Posisi shalat berjamaah di mana perempuan selalu ditempatkan di shaf belakang pun menjadi salah satu dalil pendapat tersebut.

Lantas, apa sebenarnya nilai-nilai yang terkandung dalam posisi shaf perempuan dalam shalat berjamaah? Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Imam Perempuan menjelaskan, dalam agama Islam, shalat merupakan sebuah perbuatan hamba Allah bermunajahah atau beraudiensi dengan Khaliknya. Dalam saat-saat seperti itu diperlukan kekhusyukan.

Banyak hadits yang mengatur posisi wanita dan apa yang harus wanita lakukan ketika sedang shalat dengan kaum laki-laki. Misalnya, tentang posisi wanita ketika shalat berjamaah dengan kaum laki-laki.

Rasulullah SAW bersabda, Khairu shufufi ar-rijaalu awwaluha wa syarruha aakhiruha wa khairu shufufi an-nisaa-i aakhiruha wa syarruha awwaluha. Yang artinya, Shaf (barisan dalam shalat) yang terbaik bagi laki-laki adalah shaf depan, dan shaf yang terburuk bagi mereka adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi kaum wanita adalah shaf yang terakhir dan yang terburuk bagi mereka adalah shaf terdepan.

photo
Jamaah Tarekat Syattariah berdoa bersama seusai melaksanakan shalat Idul Adha 1445 H di halaman Masjid Syaikhuna Habib Muda Seunagan Desa Peuleukung, Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh, Sabtu (15/6/2024). Ribuan jamaah Tarekat Syattariah di daerah tersebut melaksanakan shalat Idul Adha 1445 H lebih awal dari jadwal yang ditetapkan Pemerintah. - (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Dijelaskan bahwa hadis ini secara kontekstual diartikan dalam konteks shalat berjamaah yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. Poisisi kaum perempuan berada di belakang kaum laki-laki dan di antara mereka tidak ada tabir seperti yang terjadi pada masa Nabi SAW.

Shaf perempuan yang terdepan berdekatan dengan shaf laki-laki dengan shaf yang terakhir. Kedekatan ini akan mengundang munculnya gangguan-gangguan, antara lain ketidakkhusyukan dalam shalat. Di beberapa masjid di Indonesia, kata Kiai Ali, banyak masjid yang menggunakan tabir atau tirai sebagai pemisah antara kaum laki-laki dengan perempuan.

Meskipun kaum perempuan ada di belakang, para ulama berpendapat bahwa hal ini boleh saja dan bahkan lebih menjauhkan kaum perempuan dari gangguan-gangguan itu. Sedangkan posisi wanita yang berada di shaf samping laki-laki dinilai sebagian ulama bahwa hal itu makruh.

Sebagian ulama lainnya berpendapat apabila antara laki-laki dengan perempuan ada tabir pemisah sehingga laki-laki tidak dapat melihat perempuan dan sebaliknya, dan tentunya hal itu tidak menimbulkan gangguan kekhusyukan di kalangan mereka. Para ulama kalangan ini menghukumi boleh.

Sebagai catatan, Kiai Ali menekankan, kekhusyukan dalam shalat menjadi prioritas, sehingga orang yang shalat dapat berkonsentrasi ketika bermunajah kepada Allah SWT. Betapa tidak? Ketika seorang imam melakukan kesalahan dalam shalatmisalnya makmum laki-laki agar meningkatkan dengan membaca tasbih (subhanallah); artinya ia bersuara.

Sedangkan makmum wanita tidak boleh bersuara. Ia cukup mengingatkan dengan bertepuk tangan saja. Nabi SAW bersabda, Attasbihu lirrijaalu wattashfiqu linnisaai. Yang artinya, (Cara makmum mengingatkan imam yang melakukan kekeliruan adalah) membaca tasbih bagi kaum laki-laki, dan menepuk tangan bagi kaum perempuan.

Kendati suara wanita tidak tergolong aurat, di dalam shalat dapat mengganggu kekhusyukan shalat bagi kaum laki-laki. Apabila posisi wanita berada di depan lakilaki dalam shalat berjamaah, bukan hanya suara saja yang dapat mengganggu kekhusyukan mereka, tetapi tubuh wanita itu sendiri juga dapat lebih mengganggu kekhusyukan laki-laki.

Dalam sebuah hadis disebutkan, Yaqtha'u as-shalaata al-mar'atu walhimaaru wal-kalbu. Yang artinya, Wanita, keledai, dan anjing dapat memutus (mengganggu kekhusyukan) shalat. Kiai Ali menjelaskan, hadis tersebut diartikan dalam konteks shalat berjamaah dalam alam terbuka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement