REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan permintaan tes DNA di kalangan habib-habib dari kelompok Ba'alawi kembali mencuat. Ini setelah sejumlah tokoh meminta para habaib melakukan tes DNA untuk membuktikan klaim atas keturunan Rasulullah SAW.
Misalnya, musisi senior Rhoma Irama yang setuju perlu diadakan tes DNA kepada kelompok Ba'alawi untuk membuktikan mereka benar-benar keturunan Nabi Muhammad. Terlepas dari persoalan permintaan tes DNA bagi para habib, bagaimana sebenarnya sejarah tes DNA? Dan bagaimana penentuan nasab dalam Islam?
Sejak dibuktikan pertama kali oleh Oswald Avery pada 1944, bahwa DNA bisa dijadikan sebagai penguat akurasi keterkaitan hubungan nasab, DNA dijadikan alat bukti kuat bagi beberapa kasus seperti kriminalitas dan bantahan atau pengukuhan atas klaim nasab seseorang.
Tes DNA yang pernah dilakukan terhadap mantan presiden AS, Thomas Jefferson, misalnya, sempat menggemparkan. Kajian itu me nyimpulkan bahwa salah satu pendiri Negara Paman Sam terbukti memiliki anak dari perempuan berkulit hitam. Meskipun temuan itu mendapat penolakan dari para ahli dari kulit putih.
Di Rusia, metode yang sama juga digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah mayat yang diduga adalah keluarga Kaisar Nicholas II. Keberadaan mereka tak dapat dilacak, pascahukuman mati yang berlangsung pada 1918. Setelah membandingkan dengan DNA keluarga yang masih hidup, dinyatakan bahwa mayat-mayat itu adalah keluarga Sang Kaisar.
Dalam Islam, hubungan nasab pada dasarnya diketahui, antara lain, dengan adanya hubungan pernikahan yang sah. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang me nyatakan bahwa anak adalah hasil hubungan suami-istri yang sah (alwalidu li al firasy). Pengukuhan nasab juga bisa ditempuh dengan persaksian (bayyinah) oleh dua orang laki-laki yang memenuhi syarat. Cara selanjutnya berupa pengakuan bapak biologis di hadapan pengadilan (iqrar).
Kemunculan DNA menciptakan diskusi menarik di kalangan ahli fikih. Terlebih, isu DNA belum pernah muncul dalam kajian fikih klasik. Konsensus ulama pun terkait masalah ini belum pernah ada. Sedangkan perselisihan soal terkait atau tidaknya nasab itu sendiri pada dasarnya bisa dipicu oleh faktor sepele. Perbedaan kulit, misalnya. Konon, permasalahan tersebut pernah terjadi di antara Usamah dan Zaid bin Haritsah. Hubungan nasab antarkeduanya sempat dipersoal kan. Pasalnya, kulit Usamah ber warna hitam. Sedangkan sang ayah, Zaid, berkulit putih.
Pendapat ulama
Pertemuan ke-16 Komite Fikih Islam yang digelar di Makkah pada 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di bidang kedokteran, menghasilkan beberapa rekomendasi ter kait penggunaan DNA untuk me mas tikan nasab, antara lain, yaitu DNA digunakan dengan penuh kehati- hatian dan prosedur yang ketat. Kaidah penetapan nasab yang telah diakui syariat, harus lebih dikedepankan.
Selain itu, DNA tidak boleh di pergunakan untuk menafikan nasab yang telah dipastikan kebenarannya secara syariat. Penggunaan DNA diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya, tidak teridentifikasinya nasab karena be be- rapa faktor, seperti ketiadaan bukti fisik ataupun bukti tertulis. Menurut komite ini pula, DNA sah dipakai untuk mengidentifikasi bayibayi yang tertukar ketika berada di rumah sakit.
Menurut Syekh Yusuf al-Qara dhawi, DNA tak bisa dijadikan bukti pengukuhan nasab dari hasil perbuatan zina. Meskipun syariat menekankan pentingnya pengukuhan nasab, tetapi khusus dalam kasus zina, hal itu harus ditutupi. Menutupi aib dari zina penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat Muslim tetap terjaga dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka.
Rasulullah SAW pernah mengomentari sikap sahabat yang menolak pengakuan berzina dari Ma’iz bin Malik. “Tidakkah engkau tutupi dengan ujung pakaianmu,” sabda Rasulullah. Tetapi, dalam kasus tertentu DNA bisa digunakan seperti sebagai bukti atas tuduhan berzina yang ditujukan seseorang. Dalam pandangan Mufti Dar al- Ifta, Mesir, Syeh Ali Jum’ah, sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam kajian fikih Islam, nasab seorang anak apa pun kondisinya, akan te tap kembali ke ibu. Hal ini sesuai de ngan ayat: “Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang mela hir k an mereka.” (QS al-Mujaadilah [58] : 2).
Pengukuhan nasab anak ke ayah nya hanya melelui pernikahan yang sah. Namun, penggunaan DNA dianggap boleh saat kondisi tertentu. Misalnya, ketika seorang sua mi ingkar terhadap anak kan dungnya dari pernikahan sah. Sementara, di saat bersamaan tak ditemu kan bukti atau dokumen per ni- kahan. DNA dalam kasus seperti ini sah digunakan. Tes DNA juga boleh dipergunakan ketika terjadinya ka sus bayi tertukar.