REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ajaran Islam adalah tolong menolong dalam kebaikan. Di antara wujud perbuatan itu adalah sedekah. Amalan ini berarti pemberian sesuatu sesuai dengan kemampuan kepada fakir miskin atau mereka yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat.
Ibadah tersebut pun semestinya dilakukan dengan tulus hati. Keikhlasan menjadi penting agar sedekah tidak sia-sia. Keridhaan dan pahala dari Allah SWT; itulah yang hendaknya selalu menjadi tujuan.
Bukti keimanan
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sedekah adalah burhan” (HR Muslim). Maksudnya, ibadah tersebut merupakan pembuktian benarnya keimanan seseorang. Kerelaan bederma hanya bisa dirasakan orang yang memiliki iman di dalam hatinya.
Sebaliknya, golongan munafik akan selalu enggan bersedekah. Sifatnya cenderung kikir karena merasa segala harta yang dimilikinya bersumber hanya dari kerja keras pribadi. Anggapan itu melalaikan diri dari mengingat Allah. “Dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa)” (QS at-Taubah: 54).
Bertambah
Rumus sedekah bukanlah pengurangan, melainkan pertambahan. Harta yang kita keluarkan untuk bederma, bila ikhlas karena Allah, akan dilipatgandakan. Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR Muslim).
Dengan adanya jaminan dari Nabi SAW itu, persepsi bahwa bersedekah bisa mengurangi harta adalah keliru. Telah banyak kisah nyata, seorang Mukmin yang rajin bersedekah merasakan keberkahan dalam hidupnya. Insya Allah, ia pun akan mendapatkan ganti yang lebih baik.
Dicintai Allah
Kata ikhlas berasal dari akar kata khalasha, yang berarti ‘murni’ atau ‘bening.’ Akar-kata lainnya adalah akhlasha, yakni upaya sungguh-sungguh untuk menghilangkan kotoran yang mencampuri sesuatu.
Maka, keikhlasan dalam bersedekah merupakan usaha untuk betul-betul menjadikan ridha dan cinta Allah sebagai tujuan. Bukan popularitas ataupun pujian di hadapan manusia. Rasul SAW bersabda, “Sungguh, Allah Ta’ala itu Maha Memberi. Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia dan Dia membenci akhlak yang buruk” (HR al-Baihaqi).