Rabu 24 Apr 2024 21:59 WIB

MUI Imbau Umat Islam Menahan Diri Saat Temukan Dugaan Penistaan Agama

Kasus tindakan penodaan agama bukan tindak pidana aduan.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Muhammad Hafil
Penodaan agama.    (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Penodaan agama. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perkembangan media sosial membuat masyarakat dengan mudah memantai konten-konten yang mengarah kepada penistaan agama. Dan sudah terbukti banyak orang yang dilaporkan ke kepolisian karena konten yang berbau menistakan agama.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Utang Ranuwijaya mengimbau kepada umat Islama agar bisa menahan diri dan jangan main hakim sendiri ketika menemukan tindakan penistaan agama. Prof Utang menyarankan agar menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwajib.

Baca Juga

Ia menyarankan agar orang yang diduga melakukan penistaan agama agar segera meminta maaf. Jika agama yang diduga dinistakan adalah agama Islam maka harus segera meminta maaf kepada umat Islam sehingga bisa dibicarakan lebih kondusif.

"Mungkin bentuknya bukan musyawarah, karea tidak ada yang harus dimusyawarahkan. Paling, pelaku datang kepada MUI dan menyatakan minta maaf kepada umat Islam, serta berjanji untuk tidak melakukannya lagi," ujar Prof Utang saat dihubungi Republika.co.id, Rabu 24/4/2024).

Prof Utang menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan penistaan agama. Menurutnya penistaan agama sesuai dengan bunyi Pasal 156a KUHP dan pasal 1 UU PNPS nomor 1/1965. Pasal tersebut menjelaskan secara detil tentang penistaan agama.

Prof Utang menilai melaporkan pelaku terduga penistaan agama ke polisi sudah sangat tepat demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab isu agama merupakan isu sensitif yang dapat memicu ketegangan besar di tengah-tengah masyarakat.

Prof Utang mengatakan kasus tindakan penodaan agama bukan tindak pidana aduan. Oleh karena itu, diadukan atau tidak oleh masyarakat proses hukum akan terus berlanjut.

"Tindakan melaporkan  penistaan terhadap agama (Islam)  kepada polisi  merupakan tindakan yang sesuai dengan  aturan perundang-perundangan yang berlaku, karena memang ada ketentuan  dan landasan hukum yang mengaturnya, sebagaimana pada pasal 156a KUKP dan UU PNPS nomor 1 thn 1965," kata Prof Utang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement