REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, Ramadhan hadir sebagai momen untuk menenangkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagi generasi salaf terdahulu, Ramadhan bukan sekadar bulan puasa, tetapi juga waktu yang penuh dengan kekhusyukan dalam ibadah.
Dalam tradisi yang diteruskan dari Nabi Muhammad SAW, generasi salaf mengisi rumah mereka dengan suara-suara bacaan Alquran.
Mereka membaca dengan penuh khidmat dan kesungguhan. Ini seolah melambangkan hubungan spiritual yang mendalam dengan wahyu Ilahi.
Dalam "30 Renungan Ramadhan" karya Dr 'Aidh Abdullah Al-Qarni, digambarkan betapa mereka membaca Alquran dengan penuh perasaan. Mereka menangis ketika mendengar nasihat-nasihat Allah SWT, bergembira ketika membaca janji-janji-Nya, serta taat dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Salah satu contoh kekhusyukan ini terlihat dalam riwayat tentang Ibnu Mas'ud RA, sahabat Rasulullah SAW. Ketika Ibnu Mas'ud membaca awal surat An-Nisa di hadapan Nabi, ketika sampai di ayat 41:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا
"Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka."
Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Cukup." Mata beliau berkaca-kaca, menandakan kekaguman dan kecintaan yang mendalam kepada Allah.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW mendengarkan bacaan Alquran yang dilantunkan oleh Abu Musa RA dengan penuh kekaguman. Beliau berkata kepada Abu Musa, "Bila kamu melihatku sedang menyimak bacaanmu semalam, sungguh aku telah diberi salah satu seruling keluarga Daud."
Lalu Abu Musa berkata kepada Nabi SAW, "Kalau saja saya tahu engkau menyimak bacaanku, maka aku perintahkan suaraku dengan seindah-indahnya." Artinya, yaitu Abu Musa RA akan melantunkan bacaan Alquran dengan suara terindah. Sehingga dengan suaranya, Alquran lebih memberi dampak dan menjadi lebih indah.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin memaparkan, maksud seruling keluarga Daud yang disebut Nabi SAW yaitu Nabi Daud diberi kitab Zabur sebagai wahyunya, yang kemudian bacaan-bacaan kitab Zabur itu dilagukan oleh Nabi Daud dengan suara yang merdu nan indah. Gunung-gunung dan burung-burung pun ikut hanyut dalam kenikmatan bacaan Zabur yang dilantunkan oleh Nabi Daud.
Hal tersebut menunjukkan tingkat kesungguhan dan kekaguman Nabi terhadap Alquran. Ini mengajarkan agar tidak hanya membaca Alquran sebagai rutinitas, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan hati yang tulus dan khusyuk.
Baca juga: Bawah Masjid Al Aqsa Penuh Terowongan, Mitos Kuil Sulaiman dan Sapi Merah yang tak Muncul
Adapun Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkaar menjabarkan, menangis ketika membaca Alquran merupakan tanda sifat arif, dan juga adalah buah dari kekhusyukan. Allah SWT berfirman:
وَيَخِرُّوْنَ لِلْاَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا "Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (QS Al Isra ayat 109)
Pada Ramadhan yang penuh berkah ini, setiap Muslim sepatutnya mengikuti jejak para salaf terdahulu dalam memperdalam hubungan spiritual dengan Alquran, yaitu dengan membaca, dan mentadabburi makna-makna Alquran melalui pembacaan pada kitab-kitab tafsir Alquran.