REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Juru bicara pemerintah Inggris mengatakan Perdana Menteri Rishi Sunak dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sepakat pentingnya lebih banyak bantuan mencapai orang-orang yang sangat membutuhkan di Jalur Gaza. Sementara Israel kini terus melanjutkan rencana serangan ke Rafah.
"Dua pemimpin itu juga mengungkapkan kekhawatiran mendalam mereka pada banyaknya korban jiwa sipil di sana," kata juru bicara dalam pernyataannya, seperti dikutip dari Aljazirah, Senin (19/2/2024).
Pekan ini pengunjuk rasa berkumpul di depan kediaman perdana menteri. Mereka menuntut Sunak mengecam serangan Israel ke Rafah dan mendesak pemerintahnya menuntut gencatan senjata
Israel bersikeras melanjutkan rencana mereka untuk meluncurkan invasi darat ke Rafah, daerah paling selatan di Gaza, tempat lebih dari 1,4 juta dari total 2,3 juta populasi mencari perlindungan. Meski terdapat tekanan dari masyarakat internasional untuk menghentikan rencana tersebut.
Aljazirah melaporkan puluhan orang tewas dalam serangan Israel pada Sabtu (17/2/2024) dan Ahad (18/2/2024) di Gaza selatan. Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan jumlah korban tewas dalam serangan Israel mencapai sekitar 29.000 orang, ribuan orang masih hilang.
Namun, AS mengindikasikan akan memveto resolusi gencatan senjata yang diusulkan Aljazair di Dewan Keamanan PBB seperti yang disampaikan Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, dalam pernyataan pada Sabtu lalu. "Jika resolusi ini diajukan untuk pemungutan suara seperti dalam rancangannya, resolusi ini tidak akan diadopsi," kata Thomas-Greenfield.
Ia menambahkan, resolusi ini "dapat bertentangan dengan perundingan antara Hamas dan Israel". Sebelumnya AS menggunakan hak vetonya untuk mencegah Dewan Keamanan PBB meloloskan resolusi yang menyerukan gencatan senjata di Gaza.
Pada Senin (19/2/2024), Mahkamah Internasional (ICJ) akan memulai sidang dengar pendapat mengenai konsekuensi hukum dari pendudukan Israel atas Palestina. Lima puluh dua negara termasuk Indonesia akan menyampaikan argumen mereka.
Majelis Umum PBB memilih untuk meminta pendapat dari ICJ mengenai pendudukan Israel pada bulan Desember 2022. Hal ini terpisah dari kasus yang diajukan Afrika Selatan ke ICJ.