Hamas menyebut serangannya pada 7 Oktober sebagai Badai Al-Aqsa dan terus menggunakan situs suci tersebut dalam retorika masa perangnya. Baik Muslim atau Kristen, Al-Aqsa dipandang sebagai pemersatu budaya bagi warga Palestina.
"Al-Aqsa kini menjadi target utama sistem politik Israel. Mereka merasa dengan menghapuskan simbol ini dari kesadaran kolektif orang-orang Palestina, mereka dapat menghilangkan pengaruh orang-orang Palestina, sehingga mereka tidak mempunyai sesuatu untuk diperjuangkan," kata Baroud.
"Mereka sekarang adalah polisi, mereka adalah keamanan, mereka adalah menteri, mereka adalah pemerintah, merekalah yang mendefinisikan Israel," tambahnya.
Ekstremis Yahudi sering menyerbu masjid selama hari raya Yahudi untuk berdoa atau melakukan ritual, seperti Masjid Ibrahimi di Hebron dan baru-baru ini di Jenin ketika tentara Israel membacakan doa Yahudi melalui pengeras suara masjid.
Meskipun para aktivis ini sering menyebut kebebasan beragama sebagai motif mereka, Baroud berpendapat ada peran yang lebih jahat yang berperan dalam hal ini. "Gagasan utama di Israel adalah bahwa jika mereka mampu mengubah masjid menjadi kuil, mereka dapat menebus identitas kolektif mereka dengan mengorbankan rakyat Palestina," kata Baroud.