Rabu 06 Dec 2023 05:55 WIB

Sosok Hantu yang Ditakuti dan Jadi Target Utama Perburuan Zionis Israel  

Boudia dikenal sebagai revolusioner anti zionis Israel

Rep: Umar Mukhtar / Red: Nashih Nashrullah
Mohammad Boudia (kanan) dan mantan perdana menteri Israel Golda Meir (kiri). Boudia dikenal sebagai revolusioner anti zionis Israel
Foto: Dok Istimewa
Mohammad Boudia (kanan) dan mantan perdana menteri Israel Golda Meir (kiri). Boudia dikenal sebagai revolusioner anti zionis Israel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ternyata ada sosok underground yang ditakuti organisasi intelijen Israel, Mossad, selama ini. Mossad sampai harus merancang pembunuhan sedemikian rupa untuk menumpas orang ini. 

Sosok 'hantu' yang dimaksud ialah Muhammad Boudia lahir pada 1932 di lingkungan Bab Jadid di Kota Aljir, Aljazair. Sejak kecil, dia sudah tertarik dengan tulisan dan berbagai bentuk teater. Boudia jago menyamar dan bersembunyi. Dia juga memiliki kemampuan menulis karya sastra.

Baca Juga

Pada 1954, ketika berumur 22 tahun, Boudia bergabung dengan Institut Seni Drama Regional di Aljazair. Keadaan sosial dan profesional memaksa Boudia mengejar mimpinya dengan pindah ke Prancis. 

Namun dia tidak pernah melupakan impian kemerdekaan kolektif bangsanya, Aljazair. Sehingga ia pun bergabung dengan Federasi Front Pembebasan di Prancis. Boudia terlibat dalam beberapa operasi, yang membuat dia terluka. 

Boudia juga memimpin pengeboman gudang bahan bakar Prancis di Marbienne, Marseille, pada  1958. Dia kemudian dihukum penjara selama 20 tahun. Selama di penjara, dia menulis puisi dan teks teatrikal seperti "Miilad" (Hari Lahir) dan "Syajaroh Al Zaytun" (Pohon Zaitun). 

Kemudian, pada tahun 1961, Boudia berhasil melarikan diri dari penjara dengan bantuan jaringan Johnson, sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang Prancis, Swiss, dan Eropa murni. Kelompok ini secara intelektual anti-kolonial dan praktik, setia pada revolusi Aljazair. Dalam catatan rahasia kepolisian, kelompok tersebut dikenal dengan nama "Hamlah Al-Haqo'ib" (Pembawa Tas).

Boudia bersembunyi sebentar di Belgia, lalu ke Tunisia. Di Tunisia ini, dia bergabung dengan rombongan teater Aljazair bernama Front Pembebasan, bersama Mustafa Kateb dan sekelompok pioner dalam bidang tarik suara, film dan seni peran. 

Menjelang kemerdekaan, Presiden Aljazair Ahmed Ben Bella, mengangkat Boudia menjadi kepala Teater Nasional Aljazair. Dia menjadi direktur pertamanya pada  1963, namun ia tidak mengabaikan kecintaannya pada menulis dan jurnalisme. Dia juga mendirikan dua surat kabar, "November" dan "Aljazaa'ir Haadzal Masaa".

Keadaan Aljazair mengalami ketegangan saat Presiden Ahmed Ben Bellva dikudeta oleh militer pada 19 Juni 1965. Dia bersimpati pada presiden sipil itu dan mengkritik pemimpin militer, dan bahkan sangat menentangnya. Dia menganggap kudeta tersebut tidak pantas dan merupakan bentuk usang dan menyedihkan yang melanggar legitimasi dan melemahkan prinsip kebebasan.

Karena khawatir akan penangkapan terhadap dirinya, Boudia melarikan diri ke arah timur Aljazair, sebelum menyelinap keluar melintasi perbatasan Tunisia, untuk berangkat lagi ke Prancis. Di Prancis, tepatnya pada 1967, Boudia bekerja sebagai pekerja administrasi di Teater Barat di Paris, dan kemudian mendirikan sebuah ruangan untuk teater Maghreb.

Baca juga": Penjelasan Alquran Mengapa Bangsa Yahudi Kerap Membuat Kekacauan

Namun tidak banyak yang tahu, bahwa sebenarnya Boudia sibuk memikirkan persoalan Palestina. Dia punya rahasia dan dunia paralelnya sendiri, yang hanya diketahui sedikit orang. Dia menjalin pertemuan di Kuba dengan tokoh terkemuka dari Front Populer untuk Pembebasan Palestina, Wadie Hadad atau yang dikenal sebagai Abu Hani.

Boudia pun bergabung dengan Front Populer untuk Pembebasan Palestina. Dia ditugaskan dalam misi militer lapangan di Eropa. "Sama seperti isu Aljazair dan revolusinya adalah isu saya, isu Palestina dan revolusinya juga merupakan isu saya," kata Boudia, seperti dilansir laman Arabic Post. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement