Senin 13 Nov 2023 22:06 WIB

Sejarah Penyusunan Mushaf Alquran Braille di Indonesia

Penyusunan mushaf Alquran braille dimulai sejak tahun 1974.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Santri membaca Alquran braile di salah satu kamar di Pesantren Tahfidz Tuna Netra Mahad Saman Darushudur, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/3/2023). Sebanyak 27 santri tuna netra mengikuti pesantren tahfidz Alquran dengan metode pembelajaran menggunakan bunyi-bunyian serta hafalan Alquran selama Bulan Suci Ramadhan 1444 H.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Santri membaca Alquran braile di salah satu kamar di Pesantren Tahfidz Tuna Netra Mahad Saman Darushudur, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/3/2023). Sebanyak 27 santri tuna netra mengikuti pesantren tahfidz Alquran dengan metode pembelajaran menggunakan bunyi-bunyian serta hafalan Alquran selama Bulan Suci Ramadhan 1444 H.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mushaf Alquran Braille di Indonesia merupakan inisiatif untuk memfasilitasi akses bagi kaum difabel visual, terutama mereka yang mengandalkan sentuhan dan Braille sebagai cara membaca. Proses penyusunan Mushaf Alquran Braille di Indonesia melibatkan beberapa langkah dan organisasi.

Kepala LPMQ Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Abdul Aziz Sidqi menjelaskan, penyusunan mushaf Alquran Braille telah dimulai sejak 1974, sejalan dengan pembahasan Mushaf Alquran standar Indonesia.

Baca Juga

Menurut dia, proses penyusunan memakan waktu sekitar sembilan tahun dan disempurnakan pada 1983, kemudian dikuatkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 25 tahun 1984.

“Penyusunan mushaf Alquran braille dimulai sejak tahun 1974, karena dibahas berbarengan dengan mushaf Alquran standar Indonesia di mana ada tiga mushaf Alquran standar Indonesia. Pertama mushaf Alquran standar Usmani, kedua Bahriyah, dan ketiga mushaf standar braille,” ujar Sidqi dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (13/11/2023).

Sejak 1984, mushaf Alquran braille ini dicetak, diedarkan, dan dibacakan oleh kalangan tunanetra, terutama di Indonesia. Pada 2011, LPMQ kemudian menyusun buku pedoman membaca dan menulis Alquran braille.

Selanjutnya, pada 2013, hasil penyempurnaan buku pedoman tersebut dicetak bersamaan dengan Alquran Braille yang telah disempurnakan lengkap dengan terjemahannya. Pada akhir tahun ini, pihaknya pun berencana untuk mencetak kembali Alquran Braille edisi penyempurnaan tersebut.

“Kita cetak Alquran braille edisi penyempurnaan ini dan juga ditambahkan ada terjemahan supaya teman tunanetra tidak membaca teks Alqurannya saja, tapi juga bisa membaca mengetahui terjemahan Alquran itu,” ucap Sidqi.

Dalam proses penyusunannya, menurut Sidqi, pihaknya bekerja sama dengan berbagai unsur masyarakat, khususnya lembaga-lembaga yang terlibat aktif, seperti yayasan di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Organisasi Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) juga turut dilibatkan sejak 2011. 

“Di Ciputat itu ada yayasan yang khusus untuk menangani Alquran braille Raudlatul Makfufin. Di bandung ada yayasan Wyata Guna. Semua stakeholder kita libatkan,” kata Sidqi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement