REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Benturan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan dua kelompok yang saling bersitegang, terutama pada era 1948-1965. Keduanya pun memiliki sejumlah perbedaan, termasuk dalam bidang politik.
Dalam buku Benturan NU-PKI 1948-1965 yang diterbitkan tim PBNU, Abdul Mun’im DZ menjelaskan bahwa NU lebih mengutamakan harmoni atau ishlahil ummah (untuk kesejahteraan rakyat) lahir dan batin. Sedangkan PKI membangun sistem politik yang kontradiktif bahkan konfrontatif di tengah masyarakat Nusantara yang harmoni.
Tradisi politik yang dikembangkan PKI tidak melahirkan ketenteraman malah mengundang terjadinya benturan antar masyarakat dan antar tradisi. Dalam politik PKI yang konfrontatif, hanya ada kawan dan lawan, yang bukan kawan dianggap lawan dan boleh diserang.
Sebelum hadirnya PKI sebagai kekutan politik formal, suasana politik segenting apapun bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Sebesar apapun perbedaan selalu dilandasi kebersamaan dan dibicarakan secara kekeluargaan dan kebangsaan.
Sebagai contoh, dalam sidang BPUPKI berbagai perwakilan masyarakat hadir dalam sidang itu, mulai dari kelompok Islam, nasionalis, ada Hindu, Buddha, Konghucu dan sebagainya. Namun, tetapi ketika bicara soal penetapan dasar Negara serta Mukadimah undang-undang dasar, selalu bisa dimusyawarahkan secara kekeluargaan.
“Sehingga dalam waktu singkat bisa dirumuskan Pancasila, Mukadimah Undang-Undang Dasar serta UUD 1945, karya monumental bangsa ini dirumuskan tanpa disertai ketegangan apalagi kekerasan,” jelas Abdul Mun’im.
Hal itu sangat berbeda dengan sidang Konstituante di mana PKI sudah terlibat di dalamnya, persidangan tidak hanya berlarut-larut dari 1956 hingga 1959, juga banyak diwarnai caci maki dan hujatan pada lawan politiknya.
Sehingga, majalis yang dipercaya untuk merumuskan Undang-Undang Dasar itu banyak diwarnai pertikaian yang tak teratasi, terutama dari Fraksi PKI dan Fraksi kiri lainnya yang selalu menyerang lawan-lawan politiknya di Konstituante secara fulgar. Perbedaan pendapat itu baru bisa diatasi dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sikap konfrontasi itu juga ditunjukkan PKI dalam siding DPA yang mestinya forum itu diisi oleh orang yang telah matang dan dewasa dalam berpikir serta stabil emosinya. Tetapi, kelompok PKI sebagaimana ditampilkan oleh ketua CC PKI sendiri yaitu DN Aidit, masih menggunakan forum DPA itu sebagai sarana untuk menyerang lawan politiknya.
“Salah satu yang pernah diserang adalah Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri, yang digugat karena Islam mengharamkan makan daging tikus. Dengan cara lebih diplomatis serangan DN Aidit terhadap kesucian Islam itu ditangkis oleh KH Saifuddin Zuhri,” kata Abdul Mun’im.
Tidak hanya di forum resmi politik kenegaraan, di lapangan PKI juga menghembuskan dan mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah dan terhadap para pimpinan agama dan orang-orang kaya.
Selama beberapa dasawarsa, PKI menampilkan diri sebagai sosok yang garang dan subversif bahkan cenderung kriminal. Segala macam bentuk politik yang penuh kontradiksi dan konfrontasi itu akhirnya membuat rakyat jenuh dan menjauhi PKI.
Dengan perilaku politiknya itu, PKI dengan mudah distigma sebagai partai pemberang suka bikin onar. Sebenarnya PKI bisa jadi besar menjelang 1965, tetapi citra buruk sebagai pembuat kisruh tidak bisa sirna.
“Perbedaan sikap politik yang tajam itu PKI akhirnya berhadapan dengan kekuatan lainnya, sampai akhirnya PKI lenyap dari panggung politik Indonesia,” jelas Abdul Mun’im