REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ada pepatah lama Maroko yang menyinggung soal keberadaan orang Yahudi di Maroko, yaitu, "Pasar tanpa orang Yahudi ibarat pasar tanpa saksi."
Hal itu mengacu pada kehadiran orang Yahudi di bidang komersial dan ekonomi di Maroko berdasarkan keterlibatan mereka dalam perdagangan dan praktik di berbagai kerajinan dan profesi.
Kehadiran Yahudi di Maroko sudah ada sejak 2.000 tahun yang lalu, dan hingga pertengahan abad ke-20. Mereka merupakan elemen penting dalam komposisi etnis, sosial dan agama di sejumlah kota dan desa. Sekaligus merupakan komponen utama dari keragaman budaya dan warisan spiritual mereka.
Kedatangan orang Yahudi ke Maroko dimulai pada masa protektorat Prancis di Maroko, di mana saat itu orang Yahudi bermigrasi ke negara tersebut dan ke sejumlah negara Eropa. Migrasi ini meningkat secara intensif setelah Perang 1967.
Sehingga, dari total populasi warga Maroko, 1 persennya adalah orang Yahudi. Setiap tahun, migrasi orang Yahudi ke Maroko terus terjadi sehingga muncul interaksi antara Islam dan Yahudi di Maroko.
Koeksistensi dan interaksi antara Yahudi dan Muslim di Maroko menyebabkan interpenetrasi budaya di berbagai bidang kehidupan sehari-hari. Seperti makanan, pakaian, musik, cerita rakyat, peribahasa, kepercayaan, praktik magis, dan bahkan penghormatan terhadap orang-orang suci atau wali di Maroko. Aspek-aspek tersebut telah meninggalkan jejak di Maroko hingga saat ini.
Profesor Fakultas Seni dan Humaniora di Universitas Sidi Muhammad Ben Abdullah di Fez, Hanan Al-Sakat, memberikan penjelasan dalam sebuah artikel tentang “Sufisme dan Asketisme Yahudi (Kabbalah) di Maroko” di Majalah Al-Manahil yang diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan Maroko.
Dia menyebutkan, umat Islam di Maroko memiliki orang-orang zuhud yang dianggap sebagai orang suci yang baik karena martabat mereka dan upaya sehari-hari mereka untuk meningkatkan moral agama, jihad, dan material orang-orang sezaman mereka.
Begitu pun dalam umat Yahudi di Maroko, yang juga memiliki orang-orang zuhud, yang kemudian mendapatkan keistimewaan selama hidup mereka yang melampaui lingkungan Yahudi terdekat mereka dan menyebar di kalangan Muslim.
Fenomena itu meningkatkan kemampuan masyarakat Maroko untuk bertoleransi. Oleh karena itu, umat Islam di Maroko tidak merasa malu sedikit pun baik secara agama, moral, dan sosial, dalam mencari bantuan dari orang-orang zuhud Yahudi.
Baca juga: 15 Pengakuan Orientalis Non-Muslim Ini Tegaskan Alquran Murni tak Ada Kesalahan
Profesor Sosiologi di Universitas Paris, Hasssan Magdy, mengungkapkan dalam tesis doktoralnya tentang rincian fenomena orang zuhud (yang dipandang suci) di Maroko yang dimiliki oleh Muslim dan Yahudi.
Magdy menjelaskan bahwa ada wali yang diberkati baik oleh orang Yahudi maupun Muslim. Peneliti Prancis Louis Voigno, dalam studinya tentang subjek ini, menghitung ada 31 wali dalam kategori ini. Sementara peneliti Yahudi Iskhar Ben-Ami menyusun daftar yang mencakup 36 orang suci atau wali di Maroko.
Di antara para wali di Maroko adalah Sidi Mohamed Cherif di Larache, Sidi Boudhahab di Safi, Lalasafia di Agadir, Sidi Bel Abbes di Ksar el-Kebir, Sidi Qadi Haja di Al-Aounat di Doukkala, Sidi Ibrahim, Sidi Yacoub dan Sidi Moussa Ou Salah di Beni Ourine, Sidi Mall El Borj di Bzou, dan Sidi Yahya Benyounis di Oujda, Sidi Youssef El Hajj Baddou, Sidi Bouissa Ousliman di Taroudant, dan Sidi Boulnoir di Ouled Barhiel.
Kisah tempat suci Sidi Yahya...