Jumat 01 Sep 2023 23:32 WIB

NU Seperti Nabi Yunus yang Ditendang ke Laut dan Ditelan Ikan, Catatan KH Azis Masyhuri

Pasca-Peristiwa G 30 S PKI pada 1965 justru mengimpit pergerakan NU

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
(ilustrasi) logo Nahdlatul Ulama. Pasca-Peristiwa G 30 S PKI pada 1965 justru mengimpit pergerakan NU
Foto: tangkapan layar wikipedia
(ilustrasi) logo Nahdlatul Ulama. Pasca-Peristiwa G 30 S PKI pada 1965 justru mengimpit pergerakan NU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Setelah hancurnya komunis pascatragedi G 30 S PKI, nasib Nahdlatul Ulama (NU) digambarkan almarhum KH A Azis Masyhuri dalam bukunya “99 Kiai Kharismatik Indonesia” Jilid I. Dia mengibaratkan NU seperti keadaan Nabi Yunus di atas kapal.

Merujuk buku “Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia” karya Ahmad Mansur Suryonegara diungkapkan bahwa dengan hancurnya komunis setelah terjadinya G30S PKI, kekuatan Nasakom tinggal NU dan PNI yang merupakan penyangga nasionalnya terbawa rontok.

Baca Juga

Sementara, partai-partai gurem lainnya dari kalangan non-Islam tidak seimbang realitas potensinya dengan NU plus parpol Islam kecil lainnya seperti Perti dan PSII.

Kekuatan masa diperlihatkan dalam harlah NU ke-40 (1926-1966) yang mendapatkan dukungan positif dari Presiden Soekarno. Tetapi, NU sebagai pemilik kekuatan massal yang sangat besar itu, tidak siap menghadapi perubahan politik yang terjadi secara mendadak.

Sikap politik NU menjadi pendukung lahirnya Orde Baru bukan sebagai sokoguru. Akibatnya, NU dijadikan unsur penunjang lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Permusi) yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

“Di sinilah NU layaknya seperti Nabi Yunus yang menumpang kapal orang lain, di mana Kapten kapalnya menuntut Nabi Yunus untuk meloncat ke tengah laut. Nasib selanjutnya Nabi Yunus ditelan kegelapan dalam perut ikan,” jelas Kiai Azis Masyhuri.

Nasib pondok pesantren kala itu juga identik dengan nasib NU, yaitu dalam kegelapan di mana kiai pengasuh pondok pesantren dengan seluruh jajarannya ikut larut dalam kegiatan politik praktis dan dengan sendirinya banyak program-program yang terbengkalai dan tak bisa dilaksanakan. 

Tokoh intelijen KH As'ad Said Ali, dalam tulisannya di Republika, mengungkapkan, sekelompok orang yang mengatasnamakan "sejarawan, pegiat seni, pendidik, akademisi, budayawan dan aktivis", mengeluarkan deklarasi menuntut negara menulis ulang sejarah. Deklarasi ini reaksi terhadap rekomendasi PPHAM (Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu). 

Baca juga: 2 Buah Surga yang Ada di Dunia dan Diabadikan Alquran, Atasi Asam Urat Hingga Kanker

Pada intinya, demikian tulis Kiai As'ad, mereka meminta negara mengungkapkan kebenaran dan meminta maaf serta melakukan penulisan ulang sejarah tentang peristiwa G-30 S/PKI. Dengan kata lain mereka mengingkari bahwa PKI yang melakukan pemberontakan dan sebaliknya menimpalkan kesalahan kepada pihak lain. 

Dalam tulisannya itu, Kiai As'ad juga mengulas soal buku berjudul "Menghadapi Manuver Neo-Komunis". Buku ini disusun KH Abdul Mun'im DZ dan Kiai As'ad menulis kata pengantar.  

Pada halaman 123 di buku tersebut, dipaparkan tentang "Sikap NU" terhadap isu bangkitnya PKI. Salah satunya menyebutkan bahwa PKI akan terus berusaha mengaburkan sejarah pemberontakan PKI 1965, melalui gerakan yang bersifat nasional dan internasional, termasuk mendesak pemerintah untuk menulis ulang sejarah peristiwa 1965.     

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement