Jumat 18 Aug 2023 21:53 WIB

Mengapa Ulama Terima Perubahan Kalimat Sila Pertama Padahal Menegasikan Piagam Jakarta?

Para ulama mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara.

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Pancasila. Para ulama mengedepankan kepentingan berbangsa dan bernegara
Foto:

Maka, lanjut dia, tak mengherankan jika masalah itu kemudian dibawa lagi ke Majelis Konstituante pada 1956-1959 di parlemen. Perdebatan yang berlangsung keras selama dua tahun itu sangat menarik dan mengandung argumen-argumen yang mendasar tentang dasar Negara.

Saat itu ada tiga kelompok. Pertama, kelompok Islam yang diwakili partai Masyumi , Nahdlatul Ulama (NU), lain-lain menginginkan dasar Negara Islam. 

Kedua, kelompok nasionalis sekuler yang diwakili PNI, PKI dan lain-lain mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara. Ketiga, kelompok Buruh menginginkan ekonomi kerakyatan sebagai dasar Negara.

“Tapi, pada akhirnya tetap Pancasila sebagaimana 18 Agustus yang diterima oleh peserta sidang konstituante, maka pada akhirnya para ulama menerima apa yang sudah terjadi,” ucap Anwar Bachtiar.

Dia menambahkan, para ulama menerima rumusan yang baru itu dengan catatan bahwa Pancasila itu bukan sesuatu yang dibenturkan dengan Islam atau dengan agama, melainkan dasar negara atau falsafah negara yang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada agama.

“Nah, ini barangkali adalah sikap atau wujud penerimaan ulama terhadap Pancasila,” kata Anwar Bachtiar.

Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar

Terkait perubahan sila pertama Pancasila ini, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Abdul Mu’ti mengutip pernyataan mantan menteri agama RI Alamsyah Ratu Perwiranegara bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia.

“Kebesaran jiwa para tokoh Islam yang menyetujui dihapuskannya frasa ‘Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ memiliki dua makna,” kata Prof Mu’ti.

Pertama, menurut dia, komitmen para tokoh Muslim untuk persatuan Indonesia. Kedua, tidak adanya dikotomi antara Islam dan negara. “Karena itu, umat Islam dan bangsa Indonesia tidak perlu lagi mempersoalkan Islam dan Indonesia serta menghentikan wacana dan usaha mendirikan negara Islam atau negara agama lainnya,” ungkap Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement