Rabu 26 Jul 2023 08:39 WIB

Islamfobia dan Pembakaran Alquran di Eropa Ancam Koeksistensi Masyarakat

Islamfobia, termasuk pembakaran Alquran bentuk penghinaan terhadap Islam.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi memuliakan Alquran.
Foto: EPA-EFE/SHAHZAIB AKBER
Ilustrasi memuliakan Alquran.

REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Ujaran kebencian dan rasisme terhadap Muslim Eropa telah meningkat secara signifikan di Kopenhagen, Denmark. Kepala Pusat Peradaban Hamad bin Khalifa, Abdul Hamid Al-Hamdi, menyebut hal ini mengancam koeksistensi dalam masyarakat.

“Fenomena kebencian terhadap Muslim Eropa telah menjadi topik diskusi di sebagian besar media Eropa dan telah diakui oleh beberapa departemen pemerintah,” kata Abdul Hamid dikutip di Anadolu Agency, Rabu (26/7/2023).

Baca Juga

Hal ini disebut terbukti ketika Kementerian Dalam Negeri Jerman menerbitkan sebuah laporan, yang menyimpulkan minoritas Muslim di Jerman adalah yang paling rentan terhadap diskriminasi rasial dan ujaran kebencian.

Pada akhir Juni, kementerian tersebut mengeluarkan laporan yang disiapkan oleh Kelompok Pakar Independen tentang Permusuhan terhadap Muslim. Dalam laporannya, disebutkan sepertiga Muslim di Jerman menderita permusuhan karena agama mereka.

"Laporan ini mungkin khusus untuk Muslim di Jerman saja, tetapi pemandangannya hampir sama di seluruh benua Eropa," ujar dia mengomentari laporan tersebut.

Mengenai manifestasi rasisme di Eropa, ia menyebut hal itu terjadi dalam berbagai bentuk. Di jenjang individu, umat Islam mengalami kesulitan dalam memperoleh tempat tinggal atau pekerjaan karena nama, penampilan, atau asal usulnya.

Abdul Hamid juga menyebut wanita Muslim yang menggunakan kerudung sangat rentan terhadap rasisme. Tidak jarang mereka menghadapi ucapan dan pelecehan yang menyinggung.

"Rasisme telah mencapai tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya, dengan munculnya partai-partai sayap kanan di sebagian besar negara Eropa yang mengadopsi pendekatan anti-Muslim," lanjut dia.

Ia lantas memperingatkan perkembangan yang berbahaya ini dapat mengancam masa depan koeksistensi di negara-negara tersebut. Terutama, karena sebagian besar Muslim telah menjadi warga negara Eropa, setelah memperoleh kewarganegaraan dan memenuhi tugas mereka di hadapan hukum.

Eskalasi ujaran kebencian meningkat ke posisi yang belum pernah diraih sebelumnya. Hal ini sekaligus menciptakan kesenjangan antara orang Eropa, berdasarkan agama dan ras.

Menurut dia, perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung sejak 24 Februari 2022 telah membuat rasisme terhadap Muslim di Eropa terlihat jelas, terutama dalam perlakuan media terhadap pengungsi Ukraina.

"Sayangnya, sebuah narasi telah dibuat yang menyebut pengungsi Ukraina sama sekali berbeda dari mereka yang datang dari Suriah, Irak, Afghanistan dan Timur Tengah," kata Abdul Hamid.

Terkait peran Muslim Eropa dalam menghadapi ujaran kebencian, hukum Eropa disebut dapat ditegakkan dan memiliki otoritas atas semua orang. Itulah mengapa Muslim Eropa mengandalkan kekuatan hukum untuk melindungi mereka.

"Kami berusaha menghadirkan citra beradab dari agama Islam yang menyangkal semua narasi populis, ekstremis, serta pemikir eksklusif,” ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement