REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menyampaikan kehadiran Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 guna memberikan kepastian hukum atas permohonan pencatatan perkawinan beda agama. SEMA tersebut menginstruksikan hakim agar tak mengabulkan pernikahan beda agama.
Juru Bicara sekaligus Hakim Agung MA Suharto menyebut SEMA tersebut ditujukan bagi ketua pengadilan tingkat banding dan ketua pengadilan tingkat pertama se-Indonesia.
"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan undang-undang. Itu sesuai fungsi MA," kata Suharto dalam keterangannya pada Rabu (19/7/2023).
Suharto merujuk pendapatnya dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009 yang mencantumkan fungsi MA. Dalam aturan itu, MA berfungsi melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawah MA dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.
"(SEMA 2/2023) Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," ujar Suharto.
Selain itu, Suharto membantah SEMA tersebut bertentangan dengan aturan lain, seperti UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ia mengingatkan publik menggunakan asas perundang-undangan.
"SEMA memberi petunjuk ke pengadilan di bawah MA sesuai fungsi MA sandarannya atau rujukannya juga UU perkawinan pasal 2. Mesti kita bedakan dengan jernih antara perkawinan dengan pencatatan," ucap Suharto.
Diketahui, pengadilan kini tidak bisa mengesahkan perkawinan beda agama. Ini tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Dalam SEMA yang diterbitkan pada 17 Juli 2023 ini, tertulis bahwa SEMA tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, para hakim harus berpedoman pada ketentuan dalam SEMA itu.
Pedoman pertama yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pedoman kedua, yakni pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. SEMA tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Syarifuddin.
Sebelumnya, ada pengadilan yang mengabulkan nikah beda agama. Contohnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membuat keputusan yang berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama yang diminta oleh pemohon JEA yang beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah.