Kamis 27 Apr 2023 23:23 WIB

MUI Minta Ponpes Al-Zaytun  Jelaskan Ketentuan Syariat tentang Praktik Sholat Berjamaah

Sholat berjamaah di Pesantren Al Zaytun memicu kontroversi.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Sholat Idul Fitri di Pondok Pesantren Al Zaytun
Foto: Tangkapan Layar IG Kepanitiaanalzaytun
Sholat Idul Fitri di Pondok Pesantren Al Zaytun

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Kiai Abdul Muiz Ali menanggapi praktik sholat Idul Fitri yang dilaksanakan berjamaah di Pondok Pesantren Al-Zaytun yang belakangan viral di media sosial.

Dia mengingatkan, pondok pesantren di Indonesia selama ini menjadi pusat percontohan dalam keistiqamahan merawat akidah dan tradisi ibadah ahlussunah wal jamaah. Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jakarta itu juga menyayangkan adanya tradisi amaliyah yang dikembangkan di pesantren yang justru menjadi sebab kegaduhan di masyarakat.

Baca Juga

Menurut Kiai Muiz Ali, praktik sholat Idul Fitri yang mensejajarkan shaf atau barisan laki-laki dan perempuan tidak seharusnya terjadi di lembaga pendidikan pesantren, dalam hal ini Pesantren Al-Zaytun. Dia menilai, eksklusifitas model keagamaan di Pesantren Al-Zaytun cenderung membuat gaduh di masyarakat.

Ia juga mengatakan, pimpinan Pesantren Al-Zaytun seharusnya menjelaskan kepada masyarakat tentang ketentuan fiqih pelaksanan Idul Fitri. "Pimpinan pesantren Al-Zaitun akan lebih arif jika menjelaskan kepada masyarakat perihal amaliyah yang selama ini dilakukan, termasuk yang lagi viral tentang praktik atau tata cara sholat Idul Fitri yang viral sekarang," kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Kamis (27/4/2024).

 

Secara ketentuan fikih, Kiai Muiz menjelaskan, hampir seluruh ulama menyampaikan bahwa mensejajarkan shaf antara laki-laki dan perempuan dalam sholat berjamaah adalah makruh. Perbuatan makruh itu termasuk perbuatan tercela, terlebih dilakukan oleh orang atau lembaga yang seharusnya menjadi percontohan masyarakat.

Hukum makruh mensejajarkan shaf laki-laki dan perempuan dalam sholat berjamaah dapat merujuk pada hadis Nabi dan beberapa pendapat ulama. Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ اَلرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ اَلنِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا -رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

"Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya shaf mereka adalah yang paling terakhir. Sedang sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang paling akhir, dan seburuk-buruknya adalah yang pertama." (HR Muslim)

Hikmah mengatur cara shalat berjamaah antara lain menghindari percampuran laki-laki dan perempuan.

وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك 

"Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan mendengar ucapan lelaki dan semacamnya." (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)

Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulum ad-Din, menyampaikan:

ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات“

"Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran." (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)

Sementara itu, Al Mawardi dalam kitabnya berjudul al-Hawi al-Kabir mengatakan:

"Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang bersamaan dengan imam dalam sholat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu. Ketika jamaah perempuan sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan. (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)

Rincian hukum tersebut juga dijelaskan secara tegas dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah. Mazhab Hanafiyah menegaskan, sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak atau membatalkan shalatnya laki-laki.

Imam Az-Zayla'i al-Hanafi juga berpendapat seperti berikut ini:

"Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni sholat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan sholat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan sholat, maka sholat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan."

Dasarnya ialah hadits "Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka." Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab), bukan para wanita. Dengan demikian, maka lelaki tersebut dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga sholatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi sholat para perempuan.

Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan sholat, hanya saja hal tersebut makruh.

"Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal sholat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal sholat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain sholat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya sholat ketika tidak melakukannya." (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21)

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement