REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Ketertarikan dunia Barat, terhadap Islam selalu saja muncul seiring dengan adanya momentum besar.
Sebut saja aksi di World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), pengeboman di Bali pada 12 April 2002, hingga runtuhnya rezim Saddam Hussein di Irak, dikaitkan dengan Islam, dengan makna yang negatif.
Semua itu menarik minat bagi para misionaris, terutama di Barat. Pada Mei lalu, sebuah pertemuan kaum gereja berlangsung di Grove City, Ohio, Amerika Serikat (AS). Acara ini, tulis The International Herald Tribune (IHT), pada 2003 lalu, membahas upaya untuk membuat umat Islam tertarik pada ajaran mereka.
Pada halaman depannya harian IHT melaporkan, para tokoh gereja ini sepakat bahwa mereka harus menggunakan pendekatan lunak yaitu tunjukkan rasa cinta pada umat Islam, murah hati, ramah, dan memberi kita Perjanjian Baru sebagai hadiah pada mereka.
Namun seorang penginjil asal Beirut, Lebanon, menyebutkan bahwa menjadi penginjil kepada umat Islam amatlah berisiko. Isi Alquran, tuding sang pembicara yang menolak disebutkan namanya, membuktikan bahwa Islam adalah agama yang terbelakang, curang, dan kasar
Sikap antipati pada Islam ini, tulis IHT, disulut komentar-komentar sejumlah tokoh misionaris sejak tahun lalu. Hinaan yang dilontarkan tokoh penginjil seperti Franklin Graham, Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Jerry Vines, telah mengundang kemarahan dari umat Islam dan bahkan dari kaum Kristen sendiri.
Graham, misalnya, menyebut Islam ''agama yang sangat jahat dan keras''. Kini di gereja-gereja dan seminari seantero Amerika Serikat tengah marak ceramah tentang kritik pada Islam. Buku-buku yang mengritik Islam dan cara-cara menarik hati umat Islam pada keyakinan mereka pun mencapai momentumnya.
Menurut IHT, pada 2003 itu, telah keluar sekitar 12 buah buku yang mengupas tentang Islam yang tersebar di toko buku keagamaan mereka. Arab International Ministry bahkan mengaku telah melatih 4.500 umatnya di Amerika untuk bertugas menarik umat Islam pada keyakinan mereka, sejak enam tahun terakhir, khususnya sejak peristiwa 11 September. Kelompok yang berpusat di Indianapolis ini salah satu lokomotif yang memimpin aksi anti-Islam di Amerika Serikat.
Model dan gaya penyampaian pesan para misionaris ini memang beragam. namun intinya, mereka menggambarkan bahwa dua agama besar dunia ini tengah menuju pada perbenturan.
Harian IHT menulis, Kristen digambarkan sebagai wakil kebaikan, sedangkan Islam mewakili kekasaran, kepalsuan, dan kejahatan. Bangkitnya ''minat'' pada Islam ini disebabkan oleh sejumlah alasan. Para sarjana teologi dan tokoh penginjil menyebutkan, salah satunya adalah kekalahan Irak sebagai sebuah negara Islam yang besar oleh sekutu pimpinan Amerika Serikat. Kekalahan ini membuka pintu bagi para misionaris untuk menyebarkan ajaran mereka sementara di negara muslim lainnya, pintu ini masih tertutup.
Alasan lainnya adalah serangan teroris pada 11 September yang ''membajak'' nama Islam memkbuat tokoh penginjil lainnya, termasuk warga Amerika, untuk melihat Islam sebagai ancaman baru dunia.
Tak hanya itu, meningkatnya jumlah umat Islam di Amerika Serikat bahkan dinilai sebagai sebuah ancaman tersendiri. Sementara musuh nomor satu bagi para penginjil yaitu komunisme, kini telah tumbang.
Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel
''Para penginjil telah menggantikan Uni Soviet dengan Islam,'' ungkap Pendeta Richard Cizik, wakil presiden pada National Association of Evangelicals. ''Muslim telah menjadi setara dengan kekaisaran kejahatan pada zaman ini,'' lanjutnya.
Perubahan antipati pada Islam ini terasa jelas oleh Akbar Ahmed, ketua departemen studi Islam di American University di Washington, Amerika Serikat. Semasa di Pakistan, katanya, dia menuntut di sekolah misionaris Katolik dan Protestan namun belum pernah mendengar ucapan buruk tentang Islam dari para misionaris.
Namun kini, katanya, kebencian pada Islam dan penghinaan pada Nabi Muhammad saw membangkitkan amarah umat Islam. ''Sayangnya para penginjil tersebut telah meloloskan sentimen kepada Islam. Muslim paling moderat sekali pun kecewa akan hal ini,'' ujar penulis ''Islam Under Siege: Living Dangerously In Post-Honor World'' ini.