Oleh : Farid Abdullah Lubis, kader HMI Ciputat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Beberapa waktu lalu, Himpunanan Mahasiswa Islam (HMI) merayakan Milad ke-76 tahun. Mari kita sedikit bermuhasabah diri, selama organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini berdiri, apa yang sudah diberikan sebagai sumbangsih kita dari setiap diri kader HMI untuk bangsa Indonesia?
Sekarang coba kita refleksikan dahulu, selama HMI berdiri sejak 5 Februari 1947 hingga 5 Februari 2023 lalu, apakah cita-cita ayahanda Lafran pane sudah terealisasikan setiap kader HMI masa kini?
Dalam AD/ART HMI sudah tertera jelas, bahwa ada 2 butir tujuan dan semangat awal HMI berdiri atas semangat keindonesiaan dan keislaman yaitu, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam. Yang dimana dua semangat ini diharapkan terus diperjuangkan dan menyemai dalam semangat kader HMI baik gagasannya maupun tindakannya.
HMI sudah tak bisa dikatakan sebagai organisasi muda dan baru. Dari sebelum kemerdekaanpun HMI sudah memberikan gagasan nyata. Terbukti pada masa penjajahan, kader HMI turut andil dalam memerangi penjajah.
Dengan rahmat Allah SWT akhirnya masyarakat Indonesia bisa merasakan suatu kebebasan dari belengu atau tempurung bak kata Ketua Umum PB. HMI, saudara Raihan Ariatama dalam tulisannya yang berjudul “Catatan Refleksi 76 Tahun HMI, Keluar dari Tempurung”. Menurut saya, fenomena itu sekarang hanya sebagai romantisme sejarah dan tak akan pernah terjadi lagi.
Tapi bagaimana keadaan kader HMI hari ini yang belum bisa lepas dari bayang-bayang nama besar kakandanya dulu? Apa pada saat kita melakukan LK 1 (Basic Training) tak diajarkan namanya Kesadaran?
Kesadaran bahwa mereka sudah tiada, kesadaran bahwa apa yang terjadi dimasa lampau, sekarang hanya menjadi kisah yang akan terus didongengkan kepada setiap orang untuk merekrutnya sebagai kader HMI, Bahkan kesadaran jika HMI dimasa sekarang bergantung kepada setiap kader yang katanya selalu mendominasi dan paling banyak di Indonesia, Apa kita sadar itu?
Dewasa kini, jangan pernah kita gaungkan refleksi, introspeksi dan perenungan terus menerus. Harusnya kita sadar bahwa refleksi itu hanya kata romantisme yang digunakan setiap kader yang haus akan jabatan dan kekuasan.
Hal ini karena pada nyatanya, seiring berjalannya waktu HMI terus mengalami kemunduran atau degradasi cukup signifikan baik dari aspek pergerakan maupun perkaderannya, tapi apakah kita sadar akan hal itu? Saya rasa Ketua Umum PB HMI, saudara Raihan Ariatama dan jajaran pengurus harusnya sadar dan mengakui nya.
Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW
Kita selalu berkutik pada konflik kepentingan (conflict of interest) di tataran Pengurus Besar bahkan sampai komisariat sebagai akar rumput perkaderan. Tentu ini menjadi benalu bagi proses perkaderan, yang mengakibatkan keroposnya kondisi internal HMI dan dampaknya tiap kader tidak bisa menanggapi keadaan dieksternal sebagai jawaban problematika umat dan bangsa sehingga tidak muluk jika 44 indikator kemunduran HMI bertambah dan menjadikan HMI tak menawan atau memikat mahasiswa untuk daftar serta berproses menempah diri di HMI.
Pantaskah HMI dibubarkan?
Dihadapkan dengan realitas hari ini, mungkin pernah terlintas dibenak kita, apa sudah sepatutnya HMI bubar? Tentu ini akan menimbulkan pro kontra untuk menanggapinya.
Sebenarnya ini bukan wacana baru, tapi hari ini ternyata wacananya itu bisa saja terjadi. Bahkan Alm. Ayahanda Nurcholis Madjid pernah mengatakan bahwa perkaderan HMI masih belum baik serta masih banyak kader HMI yang korupsi.
Dewasa ini, kita bisa melihat seharusnya tanda kemunduran HMI yang sudah dirangkum oleh alm. Agussalim Sitompul dalam bukunya yang berjudul “44 Indikator Kemunduran HMI” bisa menjadi tamparan bahwa harusnya dari tataran tertinggi sampai ke akar rumput bisa menjawab dan mencari solusi itu, bukan malah bertambah.
Kita ambil contoh diantara 44 indikator itu, misalnya pola perkaderan dan manajemen organisasi yang ketinggalan zaman, memudarnya tradisi intelektual, kemudian tidak punya gagasan atau karya untuk masyarakat, dan yang paling miris adalah daya kritis menurun.