REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Antropolog asal Belanda Martin van Bruinessen turut menghadiri Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Dengan adanya konferensi internasional ini, menurut dia, Nahdlatul Ulama (NU) kembali membuka pintu ijtihad dengan pembahasan yang baru.
Martin tidak mengharapkan suatu hasil konkret dari Muktamar Internasional ini. Ia hanya tertarik dengan proses para ulama dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan ilmu fikih.
"Saya tidak mengharapkan suatu hasil yang sangat konkret, tapi saya kira prosesnya yang menarik," ujar Martin saat berbincang dengan Republika.co.id di sela-sela acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I , Senin (6/2/2023).
Saat mengamati NU pada tahun 1980-an sampai 1990-an, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sebenarnya sudah mengadakan serangkain halaqah tentang tema yang sedang hangat, seperti tema politik, sosial, dan ekonom.
"Untuk mengembangkan bacaan fikih yang lebih relevan untuk masa-masa kontemporer, untuk problem sekarang, supaya orang melihat itu tidak hanya mereduksi masalah yang ada sekarang kepada sesuatu yang sudah ada di kitab fikih, tapi untuk memikirkan ulang dan mengembangkan fikih yang pada masa awal mula berkembang," jelasnya.
Menurut Martin, itu semua sudah dimulai dan dikoordinir oleh Masdar Farid Mas'udi (mantan direktur P3M) dan didukung oleh para kiai sepuh NU. Namun, satu demi satu para kiai itu wafat sehingga tidak ada lagi yang meneruskan dan proses pengembangan bacaan fikih yang dilakukan P3M tersebut berhenti.
"Nah mereka sekarang itu hampir seperti membuka pintu ijtihad dengan membuat pembahasan baru dan mungkin lebih canggih tentang masalah-masalah kontemporer," ujar Martin.
Melalui muktmar yang mengangkat tema "Membangun Landasan Fikih untuk Perdamaian dan Harmoni Global" ini, menurut Martin, PBNU ingin mengembangkan lagi ijtihad yang sempat berhenti tersebut. "Saya lihat sekarang itu menarik sekali PBNU ingin mengembangkan itu lagi dan ingin meletakkan NU di panggung depan, dalam perdebatan internasional di dalam wacana Islam," ucap Martin.
Jadi, menurut dia, yang hadir dalam muktamar ini bukanlah orang Islam yang mengembangkan wacana sekuler mengenai hak asasi manusia, tetapi mereka ingin mengembangkan wacana yang berkembang dari pemikiran Islam sendiri. "Jadi fikih Islam dipakai sebagai sumber perkembangan pemikiran yang bisa mencakup masalah-masalah yang baru," kata Martin
Dia mengatakan, muktamar ini ingin mengupayakan dinamisasi pemikiran hukum Islam. Dan yang menarik, kata dia, PBNU sekarang menawarkan itu kepada ulama terkemuka dari negara-negara Islam lain.
"Jadi di sini kita lihat NU mengambil inisiatif dalam pengembangan pemikiran ini, sehingha Indonesia kembali menjadi pemimoin di panggung internasional," jelasnya.
Dalam forum internasional ini, para mufti dan ahli hukum Islam dari berbagai dunia mengulas berbagai persoalan kontemporer dari susut pandang Islam, mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-muslim, hingga tata politik global. Salah satu pembahasan pentingnya adalah tentang posisi Piagam PBB di mata syariat Islam.
"Terutama itu memberi literasi Islam kepada PBB. Kalau selama ini PBB itu hanya dilegetimasi dengan hukum-hukum sekuler, tapi bagi orang Islam yang kerangka berpikirnya harus bertolak dari syariat Islam, itu seperti tidak nyambung. Nah mereka ingin mengembangkan pemikiran syariah sehingga bisa mencakup masalah-masalah itu," jelas antropolog yang mengagumi Gus Dur ini.