REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga (PRK) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nyai Siti Ma'rifah menanggapi munculnya fenomena ratusan pelajar SMP dan SMA hamil di luar nikah dan mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Fenomena itu tentu membuat semua prihatin, dan bukan hal yang tidak mungkin fenomena tersebut juga terjadi di daerah lainnya.
Nyai Ma'rifah menjelaskan, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sudah diubah menjadi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia bagi laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan minimal 19 tahun. Jika belum mencapai batas usia tersebut ingin melangsungkan perkawinan, maka harus mendapat dispensasi dari pengadilan setempat. Untuk yang beragama Islam di pengadilan agama setempat dan non Muslim di pengadilan negeri.
"Tetapi mengajukan dispensasi ini harus memiliki alasan yang kuat, di mana pengadilan tidak hanya menghadirkan orang tua pemohon tapi juga calon mempelai, baik laki-laki maupun perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Dalam kondisi jika keadaan menghendaki dan tidak ada pilihan lain," kata Nyai Ma'rifah kepada Republika, Ahad (15/1/2022).
Ia mengingatkan, tetapi harus diperhatikan membangun rumah tangga itu harus sudah memiliki kematangan baik fisik maupun non fisik, termasuk kesiapan mental dan ekonomi. Agar tujuan rumah tangga sebagaimana yang digambarkan dalam Alquran yakni Surah Ar-Rum Ayat 21 dapat terwujud.
Dalam membangun rumah tangga, yang harus menjadi perhatian utama adalah Maqashid Al Syariah. Pertama, keselamatan jiwa anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan anak (Hifzun Al Nafs). Kedua, kelanjutan pendidikan anak yan berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap akal (Hifzhu Al Aqal). Ketiga, keselamatan keturunan yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap keturunan (Hifzhu Al Nasl).
"Seperti kata pepatah mencegah itu lebih baik dari mengobati maka sebagai bagian dari Amar Ma'ruf Nahi Munkar harus dilakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya hamil di luar nikah atau faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini," ujar Nyai Ma'rifah.
Dampak buruk hamil duluan dan pernikahan dini
Nyai Ma'rifah menegaskan, hamil duluan dan pernikahan dini memiliki dampak serius, baik itu dari sisi agama, ekonomi, sosial maupun kesehatan.
Ia mengatakan, dari sisi pelaku hamil di luar nikah, ini jelas-jelas melanggar syariat Islam. Dari sisi ekonomi, pernikahan yang dilakukan pasangan suami dan istri yang masih belia akan tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup. Sehingga persoalan ekonomi menjadi pemicu terjadinya perceraian.
"Sementara dari sisi sosial, usia yang belum matang menyebabkan timbulnya konflik sosial dengan keluarga atau dengan masyarakat," jelas Nyai Ma'rifah.
Ia menambahkan, dari sisi kesehatan, usia yang masih belia menyebabkan alat reproduksi belum sempurna. Juga kemampuan menjaga kesehatan belum baik. Sehingga tidak jarang mereka yang menikah terlalu dini melahirkan generasi yang stunting atau tidak sehat fisik dan mentalnya.
Oleh karenanya, seluruh pihak baik pemerintah, ulama, pemimpin agama, guru, orang tua dan masyarakat bersama- sama perlu membangun generasi yang berkarakter dan berbudi luhur yang mendasarkan kepada nilai-nilai agama.
Nyai Ma'rifah menerangkan, yang berdasarkan nilai-nilai agama bisa tercermin dari kurikulum pendidikan, di mana ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Juga harus ada upaya melakukan pengawasan terhadap lembaga pendidikan.
Di samping itu, harus ada peran ulama yang selalu mengingatkan dan mengajak untuk selalu menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Kemudian, pola pendidikan orang tua di rumah harus dapat mengontrol, mengedukasi dan memberi contoh putra-putrinya berdasarkan nilai-nilai agama. Agar dapat memilih dan memilah mana yang baik dan buruk.
"Para guru harus selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari agama, dan membimbing para muridnya untuk bisa membentengi dirinya dari pengaruh yang negatif," jelas Nyai Ma'rifah.
Ia menegaskan, masyarakat juga perlu berperan sebagai sosial kontrol yang tidak memberi tempat atau ruang untuk suburnya budaya yang tidak sesuai dengan nilai agama dan kepatutan. Termasuk peran media massa juga sangat penting agar tayangan yang bersifat pornografi, pornoaksi dan sadisme tidak di sebar serta tidak disampaikan di ruang-ruang publik.
"Sebab di ruang publika, yang menyaksikan juga anak-anak usia di bawah umur yang cenderung meniru perilaku-prilaku buruk tersebut," kata Nyai Ma'rifah.
Sebelumnya, diberitakan bahwa ratusan pelajar jenjang SMP dan SMA di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama setempat. Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, Anwar Solikin mengatakan mereka yang mengajukkan dispensasi nikah mayoritas karena hamil di luar nikah.
Melihat fenomena di Kabupaten Ponorogo tersebut, besar kemungkinan remaja yang hamil duluan di luar nikah terjadi juga di berbagai kota dan kabupaten lainnya.
Anwar mengungkapkan, kasus pernikahan anak di daerah lain di Jawa Timur bahkan lebih tinggi dibanding di Kabupaten Ponorogo. "Ponorogo itu kan yang terpublikasikan. Kabupaten dan kota lainnya jauh lebih banyak juga kasus-kasus semacam itu," ujar Ketua LPA Jawa Timur.
Anwar mengatakan, kasus pernikahan anak di Jawa Timur sebenarnya lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya. Artinya, ketika data pernikahan anak di Ponorogo saja cukup mencengangkan masyarakat, terlebih kalau data di daerah lain di seluruh Indonesia terungkap.
Menurut Anwar, dari sekian banyak pengajuan dispensasi nikah bagi anak-anak, sekitar 70 persennya disebabkan karena mereka telah hamil terlebih dahulu. "Dari sekian dispensasi nikah anak itu ada 70 persennya itu akibat dari hamil duluan," ujar Anwar.