Dalam pidatonya di Masjid Paris, Macron mengungkapkan langkahnya untuk mendirikan 'Islam Prancis' yang secara teologis berbeda dari Islam ortodoks dan secara politik tunduk pada Republik. Penelitian juga digerakkan secara politis untuk membangun teologi baru yang sesuai dengan nilai-nilai republik Prancis.
"Pendekatan Prancis di sini secara eksplisit ditetapkan oleh Macron, menggemakan 'kebijakan Muslim' yang dilakukan oleh rezim otoriter. Saat menganalisis sistem Islamofobia Prancis, seseorang dapat mengidentifikasi inspirasi Prancis," jelas Freschi.
Hal ini terlihat dari Uni Emirat Arab (UEA) yang baru-baru ini digambarkan oleh Macron sebagai model dan mitra yang dapat dipercaya. UEA telah mengadopsi kebijakan radikal dalam dekade terakhir untuk mengatasi apa yang mereka labeli sebagai politik Islam. UEA menggunakan segala cara yang mereka miliki untuk mencekik perbedaan pendapat politik, termasuk penyiksaan dan mendirikan sebuah lembaga yang disebut Dewan Fatwa yang dipimpin oleh orang-orang yang tunduk.
Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed dilaporkan memperjuangkan kebutuhan untuk menindak politik Islam dalam diskusi dengan Menteri Ekonomi Prancis, Bruno Le Maire. Prancis, seperti sekutunya, juga menggunakan alat apa pun yang dimilikinya dan telah merancang sebuah institusi baru yang terdiri dari elemen-elemen penurut yang tugasnya menutupi ketidakadilan agama.
Kesamaan antara kebijakan kedua negara merupakan tanda yang mengkhawatirkan bagi para pembela hak asasi manusia. Sama seperti Islamofobia Prancis dan 'Islam Prancis' yang sebagian muncul dari visi otoriter UEA, Islamofobia Eropa dapat dihidupkan kembali dan dimodelkan oleh Prancis.
"Untuk mencegah penganiayaan anti-Muslim ini memperluas cakupannya, adalah kewajiban kita bersama untuk mendukung Muslim Prancis dalam perjuangan sulit mereka dan menantang politik anti-Muslim Prancis," ujar Freschi.