REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Muslim Rohingya di Myanmar mengalami penderitaan dan penindasan selama puluhan tahun. Kini, aktivis lokal Arakan menyebut mereka masih harus mengalami permasalahan karena terjebak di antara dua tembakan, dari junta militer negara yang represif dan Tentara Arakan Budha yang memberontak.
PBB dan organisasi hak asasi manusia internasional lainnya menyebut kekerasan terhadap Rohingya di negara itu sebagai "pembersihan etnis" atau "genosida". Mereka juga mengatakan kelompok Muslim tersebut sebagai minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Perwakilan dari Aktivis Arakan, Mohammed Rafik dan Nay San Lwin, membagikan informasi tentang pelanggaran hak yang dihadapi Muslim Rohingya sejak kudeta militer Februari 2021. Mereka menyebut apa yang telah dilakukan terhadap masyarakat Arakan bukanlah hal baru.
“Selain pelanggaran hak asasi manusia, banyak kampanye militer dilakukan untuk menghilangkan dan membuat Muslim Arakan tidak memiliki kewarganegaraan di negara mereka sendiri dan di negara tetangga, di mana mereka menemukan tempat berlindung," ucap Rafik dikutip di Anadolu Agency, Selasa (29/11/2022).
Menyebut Muslim Rohingya dengan predikat 'paling teraniaya' tidak menyelesaikan masalah. Rafik pun menyebut PBB telah gagal dalam menangani masalah masyarakat Arakan.
“Dengan pengecualian beberapa 'kekhawatiran' yang sampai ke telinga tuli dari para penindas di Myanmar, keadilan belum tercapai untuk komunitas ini,” lanjutnya.
Ia menyampaikan, sekitar 300 ribu Muslim Rohingya dideportasi ke Bangladesh dengan Operasi Raja Naga (Nagamin) pada 1978. Sementara pada 1982, undang-undang kewarganegaraan disahkan dan kewarganegaraan Muslim Rohingya dicabut dalam semalam.
Tidak hanya itu, hak-hak dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan dan hak atas properti turut dicabut. Muslim Rohingya juga dibiarkan rentan terhadap penyiksaan dan pelecehan.